Dunia maya dihebohkan dengan video sekelompok anak remaja yang asyik membuat candaan tentang korban genosida tentara Israel di Palestina. Video itu membuat geram warganet lantaran para remaja dinilai sengaja hina anak Palestina saat makan di salah satu restoran cepat saji yang sedang diboikot.
Fakta Video Remaja Hina Anak di Palestina
Sebuah video yang baru-baru ini viral di media sosial memperlihatkan sekelompok anak remaja putri yang membuat candaan keji tentang korban anak di Palestina saat makan di restoran cepat saji yang masuk dalam daftar boikot imbas serangan Israel ke Palestina.
Dalam video, terdapat 5 remaja putri. Satu per satu dari keempat remaja melontarkan leluconnya, sementara satu orang lainnya yang merekam video tersebut.
Rekaman video dimulai dari seorang remaja putri berkacamata yang menunjuk teman di sampingnya yang tengah makan tulang ayam. Ia menyebut bahwa tulang yang sedang dimakan temannya adalah tulang anak-anak Palestina. “Makan tulang anak-anak Palestina,” kata remaja putri dalam video.
Lalu kamera berpindah ke remaja putri lainnya berbaju merah yang juga menyebutkan bahwa ayam yang sudah berlumuran saus sambal yang akan ia makan adalah darah anak Palestina. Perkataan itu pun disambut gelak tawa dari teman-temannya.
Tak berhenti sampai di situ, remaja putri selanjutnya juga membuat guyonan senada. Kameranya menyoroti potongan daging ayam sambil berkata, “Daging anak Palestina,” katanya.
“Ini bukan saus, darah anak Palestina,” ucap remaja lain menimpali.
Video itu pun langsung beredar luas di berbagai platform media sosial dan memicu kemarahan warganet. Sebab, sekelompok remaja itu dinilai warganet telah hina anak Palestina dan tidak berempati dengan peristiwa genosida yang sedang terjadi.
Pihak Sekolah Turun Tangan
Viralnya video ini membuat pihak sekolah pun turun tangan. Sekelompok remaja belasan tahun itu ternyata diketahui adalah siswa tingkat sekolah menengah pertama di Jakarta.
Melalui akun Instagramnya @smpn_216, pihak SMPN 216 Jakarta membuat klarifikasi resmi bahwa remaja putri yang merekam dan mengunggah video viral itu merupakan siswi kelas 9 di SMPN 216 Jakarta. Sementara, keempat orang remaja putri lainnya yang berada dalam video diklaim bukan peserta didik dari SMPN 216 Jakarta.
Pihak sekolah juga menjelaskan bahwa, kejadian itu terjadi di luar jam sekolah pada hari Minggu (9/06) siang, setelah mereka pulang dari tempat ibadah dan makan siang di restoran cepat saji.
Pihak sekolah pun menegaskan, mereka sangat mengecam dan menyayangkan video tersebut, serta telah memanggil yang bersangkutan dan orang tuanya untuk mengklarifikasi hal ini.
Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta juga ikut turun tangan dalam menangani kasus ini. Kelima anak dipanggi dan diberikan sanksi dengan diminta wajib lapor ke masing-masing sekolahnya setiap hari selama sepekan untuk menjalani pembinaan.
Menurut Plt Kadisdik DKI Budi Awaluddin seperti yang dikutip dari laman Detik, kelima siswa tersebut sudah mengungkapkan penyesalan dan permintaan maaf lewat video yang dirilis di Youtube Lima Sekawan. Mereka bergantian mengucapkan permintaan maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, serta akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dalam video tersebut.
Kenapa Anak Remaja Kurang Berempati?
Dikutip dari laman Psychology Today, empati adalah sifat yang kita miliki sejak lahir, karena kita adalah makhluk sosial yang bertahan hidup dan berkembang dalam komunitas serta kelompok. Namun, kondisi sosial mereka akan menentukan apakah seorang remaja akan belajar mendengarkan suara empati mereka (kesadaran) atau sebaliknya.
Sejumlah penelitian memang menunjukkan bahwa karena korteks prefrontal belum matang di usia remaja, mereka lebih cenderung membuat keputusan yang tidak rasional dan egois. Namun, hal ini bukan menyebabkan tidak adanya empati.
Senada dengan hal tersebut, psikolog Agstried Elizabeth Piether dari Rumah Dandelion menyebutkan bahwa hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Faktor pertama bisa terjadi karena perlakuan yang mereka terima di lingkungannya.
“Untuk belajar sayang dan mengasihi sesama, harus juga merasakan rasanya disayang. Ia perlu diperlakukan penuh respect, dimaafkan ketika bikin salah, dimaklumi situasinya. Apakah mereka merasakan itu semua?” kata Agstried saat dihubungi oleh tim Parentsquads.
Faktor lainnya yang juga bisa jadi pemicunya adalah kemungkinan mereka tidak memiliki role model orang dewasa yang juga penuh empati di lingkungannya. “Apakah orang-orang dewasa di sekitar mereka bertekad menumbuhkan empati atau mengajak diskusi tentang kasus-kasus kemanusiaan yang terjadi? Atau memang orang dewasanya juga nggak (mengarahkan) ke sana?” tambahnya.
Menurutnya, bisa saja edukasi soal peristiwa yang terjadi di tanah Palestina sangat kurang di lingkungan terdekat mereka, baik keluarga dan pihak sekolah. Itu sebabnya, sudut pandang mereka tidak berkembang dengan baik ke arah sana. Ditambah lagi, mereka tidak menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaan di lingkungannya.
“Bisa jadi nggak paham benar makna boikot seperti apa, apa yang terjadi di Palestina, dan lainnya. Tidak cukup mendapat edukasi soal apa yang terjadi pada rakyat Palestina ataupun kasus genosida.”
Belum lagi, karakter remaja yang berusaha menjadi “edgy” atau unik agar beda dari orang lain. Jadi, bukan tidak mungkin hal ini mereka lakukan agar ingin dilihat menonjol tanpa menyadari konsekuensinya.
Menurut Agstried, perilaku yang terlihat tidak empati ini lebih karena mereka tidak belajar hal itu lebih dalam atau justru tidak diperlakukan dengan baik oleh lingkungan.
Mengikuti perkembangan kasus ini, sebagai orang tua, kita perlu menyingkapinya dengan bijak. Alih-alih melakukan doxing pada anak-anak ini, Agstried menyarankan agar masyarakat kita harus bisa mengendalikan frustrasi, dan hindari melampiaskan emosi di media sosial. Yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan sikap empati pada anak sejak dini.
Menumbuhkan Sikap Empati pada Anak Remaja
Berikut beberapa tips untuk menumbuhkan empati pada anak remaja, dikutip dari laman Business Insider:
- Diskusikan peristiwa terkini dengan mereka: Mintalah anak untuk mengambil sisi yang berbeda ketika berdebat tentang masalah yang terjadi. Hal ini dapat membantu mereka mempertimbangkan perspektif yang mungkin belum pernah mereka lihat sebelumnya.
- Berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan: Hal ini memiliki dampak paling besar ketika anak-anak MamPap benar-benar terlibat dengan orang-orang yang membutuhkan. Misalnya menjadi sukarelawan di acara amal.
- Dukung minat mereka: Ketika mereka mempunyai minat terhadap lingkungannya, bantulah mereka mengidentifikasi cara-cara untuk terlibat di dalamnya, sesuai usia mereka.
Bagaimana pun, anak remaja mampu berempati, jika dilatih dan didukung oleh lingkungan terdekatnya. Semoga kasus video anak remaja hina anak Palestina yang viral di media sosial ini bisa menjadi pelajaran bagi MamPap untuk berhati-hati dalam mendidik si kecil, ya. Semoga bermanfaat.
Partner terpercaya dan teman perjalanan parenting para orang tua agar bisa memberikan keamanan yang anak-anak butuhkan untuk tumbuh dan berkembang, serta mampu mewujudkan impiannya.