Penyakit Sulit Sembuh dan Lama, Waspada Resistensi Antimikroba pada Anak

resistensi antimikroba pada anak, anak nebu
Foto: Graphixchon/Getty Images

Resistensi antimikroba pada anak merupakan masalah serius dan kompleks yang saat ini mulai banyak ditemui, terutama di negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) secara khusus menyebutkan masalah ini sebagai salah satu tantangan besar dalam kesehatan masyarakat secara global saat ini.

Resistensi antimikroba (AMR) membuat infeksi pada anak lebih sulit diobati dan membuat prosedur dan perawatan medis lainnya jauh lebih berisiko. Dikutip dari laman resmi WHO, bahkan AMR bakteri diperkirakan secara langsung bertanggung jawab atas 1,27 juta kematian global pada tahun 2019 dan berkontribusi terhadap 4,95 juta kematian. 

Apa penyebab AMR pada anak, dan bagaimana tugas MamPap sebagai orang tua untuk mengatasi tantangan AMR pada si Kecil? Simak ulasannya dalam artikel berikut yuk! 

Apa Itu Resistensi Antimikroba pada Anak?

Antimikroba – termasuk antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit – adalah obat-obatan yang digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit menular pada manusia, hewan, dan tumbuhan.

Bacaan Lainnya

Resistensi Antimikroba (AMR) terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit tidak lagi merespons obat antimikroba. Sebagai akibat dari resistensi obat, antibiotik dan obat antimikroba lainnya menjadi tidak efektif dan infeksi menjadi sulit atau tidak mungkin diobati, sehingga meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit parah, kecacatan, hingga kematian.

AMR atau Resistensi Antimikroba adalah proses alami yang terjadi seiring waktu melalui perubahan genetik pada patogen. Kemunculan dan penyebarannya dipercepat oleh aktivitas manusia, terutama ketika terjadi penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan untuk mengobati, mencegah, atau mengendalikan infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Sehingga, AMR membuat infeksi lebih sulit diobati dan membuat prosedur serta perawatan medis lainnya jauh lebih berisiko. 

Prof. DR Dr Edi Hartoyo, SpA(K), Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI mengatakan, cara atau mekanisme terjadinya resistensi antimikroba ada beberapa cara. “Misalnya resistensi Efflux Pumps, jadi antibiotik yang sudah masuk, bisa dikeluarkan lagi oleh kuman. Kemudian ada juga Enzymatic Modification, di mana kumannya menghasilkan enzim yang dapat merusak antibiotik. Demikian juga secara genetik, kuman juga bisa resisten. Jadi pada saat kumannya mati, dia akan mentransfer gen resistensinya ke kuman yang baru, sehingga kuman yang baru resisten terhadap antibiotik. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik yang kurang tepat atau berlebihan akan merangsang resistensi yang lebih cepat,” jelas Prof. Edi dalam seminar media “AMR pada Anak” yang diadakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 

Cara Bijak Menggunakan Antibiotik

Selain petugas medis, MamPap sebagai orang tua juga perlu mengetahui bagaimana penggunaan antibiotik yang bijak untuk mengendalikan dan menghindari risiko resistensi antimikroba pada anak, sebelum memberikannya. Prof. Edi mengingatkan untuk memerhatikan kedua hal berikut:  

1. Pertimbangkan Penyebab Penyakitnya

Antibiotik biasanya digunakan untuk menangani penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Jadi, MamPap perlu meminta evaluasi dokter terlebih dahulu tentang penyebab penyakit yang dialami si kecil, apakah penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri, atau karena virus, karena jamur, atau karena parasit? Kalau penyakit disebabkan karena bakteri, maka pemberian  antibiotik sudah tepat, tentunya dengan menyesuaikan jenis bakterinya. Tapi kalau penyakit disebabkan karena virus, jamur, atau parasit, maka seharusnya tidak memerlukan antibiotik.

“Prinsipnya adalah semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri maka diperlukan antibiotik. Sedangkan penyakit karena virus, parasit, maka tidak diperlukan,” jelas Prof. Edi. 

2. Perhatikan Dosis dan Intervalnya

Biasanya, dokter akan memberikan antibiotik dengan cara yang berbeda-beda sesuai jenis antibiotiknya. Ada yang diberikan dengan cara diminum atau oral, ada yang diberikan melalui injeksi atau suntikan. Hal tersebut juga tergantung pada jenis antibiotik dan kondisi pasien. “Kondisi pasien dengan penyakit yang tidak begitu parah mungkin anak hanya diberikan secara oral. Namun, jika kondisi pasien anak dengan penyakit parah, atau dalam kondisi tidak sadarkan diri, atau tidak bisa meminumnya karena kondisi tertentu, biasanya alternatif suntikan akan diberikan,” jelas Prof. Edi. 

Selain itu bagi anak yang diberikan resep obat oral, MamPap juga harus memerhatikan cara dan dosis antibiotik yang diberikan, serta interval dan lama pemberiannya. “Apakah harus diberikan sehari sekali, atau dua kali, atau tiga kali sehari? Dan juga bagaimana intervalnya, apakah setiap 12 jam atau setiap 24 jam? Dan juga pemberian selama berapa hari? Ada yang hanya 3 hari, 5 hari, atau 7 hari. Itu semua harus diperhatikan dan dipatuhi dengan baik, karena antibiotik benar-benar aktif terhadap organisme penyebab,” kata Prof. Edi mengingatkan. 

Temuan Penggunaan Antibiotik yang Tidak Bijak di Indonesia

resistensi antimikroba pada anak
Foto: StockPlanets/Getty Images

Prof. Edi dalam seminar juga menambahkan, ada beberapa temuan-temuan atau survei yang dilakukan, mengungkap adanya penggunaan antibiotik yang tidak bijak di Indonesia. Contohnya, dalam penelitian WHO tahun 2005, yang menemukan hampir 50% di fasilitas kesehatan primer dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik. “Yang jadi pertanyaan, apakah semua kasus yang anak sakit atau orang sakit ini adalah kasus infeksi bakteri? Ini yang dipertanyakan,” ujarnya. 

Temuan kedua, dari survey nasional Departemen Kesehatan RI tahun 2009 menemukan bahwa antibiotik seringkali diresepkan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti diare akut dan flu. Padahal, penggunaan antibiotik baiknya digunakan untuk penyakit infeksi bakteri, bukan karena virus. 

Selain itu, temuan dari Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2013, 86,1% masyarakat menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter. Padahal, penggunaan antibiotik harus dengan resep dokter dan dalam pengawasan yang ketat.  

Waspada Pemberian Antibiotik pada Anak yang Berisiko

Pemberian antibiotik juga tidak bisa sembarangan lho, MamPap. Prof. Edi mengingatkan untuk mempertimbangkan anak dengan gangguan fungsi hati dan ginjal, serta bagaimana mode sekresinya. Hal tersebut akan menentukan dosis dan bagaimana pemberiannya. 

“Ada antibiotik yang bisa berpotensi mengganggu fungsi ginjal anak, demikian juga bisa mengganggu fungsi hati. Maka, pada anak-anak yang mengalami gangguan tersebut, maka pemberiannya harus hati-hati dan benar-benar selektif”. 

Tanda Anak Alergi Antibiotik

Mekanisme alergi antibiotik bisa terlihat dari berbagai cara, misalnya dari masalah kulit, pencernaan seperti muntah dan diare, hingga anafilaksis (jarang terjadi). Jika terjadi alergi, pemberian antibiotik bisa distop atau diberikan dengan dosis yang lebih ringan. Namun, jika ada tanda alergi, MamPap sebaiknya segera konsultasikan ke dokter dulu, ya. 

Demam dan Batuk Pilek pada Anak Tidak Selalu Butuh Antibiotik

Banyak orang tua yang masih percaya bahwa antibiotik menjadi obat yang ampuh bagi penyakit apa pun yang dialami anak, termasuk batuk pilek atau demam misalnya. Padahal, tidak semua penyakit tersebut butuh antibiotik. 

Prof. Edi menjelaskan, ada perbedaan penyakit umum seperti batuk pilek atau demam pada anak yang membutuhkan antibiotik dan tidak. 

“Batuk pilek penyebabnya sebagian besar sebenarnya karena virus dan alergi, tetapi ada juga karena bakteri. Ciri-cirinya batuk pilek karena bakteri itu sekretnya (ingus/dahak) hijau dan kental, demamnya tinggi, dan lamanya bisa sampai lebih dari seminggu. Karena itu, jika anak batuk pilek demamnya masih ringan dan ingusnya masih encer, kemungkinan krn virus atau alergi, bukan bakteri. Karena itu, tidak butuh antibiotik,” jelasnya.  

Dampak Jangka Panjang Resistensi Antibiotik

Jika sudah diberikan antibiotik tapi belum membaik, bisa dibilang anak mengalami resistensi. Dampak jangka panjangnya sangat besar, jika itu terjadi, anak bisa menularkan penyakit tersebut ke orang lain dan akan terjadi resistensi. Tentunya, biaya pengobatan juga akan lebih besar karena resistensi meningkat. Lama pengobatan juga akan lebih panjang. 

Jika anak mengalami infeksi bakteri berulang, mungkin ada masalah dengan sistem imunnya. Konsultasikan kondisi anak ke dokter ya, MamPap. 

Itulah penjelasan tentang resistensi antimikroba pada anak. Semoga informasi ini membantu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

eighty three − seventy four =