Pembahasan tentang konsep bully proof dengan mengajarkan berbagai keisengan ke anak sejak dini menjadi perdebatan dan diskusi di media sosial. Apa itu bully proof?
Bahasan ini bermula dari konten video TikTok yang mengatakan, bully proof diklaim bisa dilakukan dengan berbagai tindakan perundungan berkedok humor yang dilakukan orang tua pada anak sejak kecil. Yang mana tindakan ‘bercanda’ orang tua ini diklaim mampu menjadi pelatihan untuk menghadapi perundungan di masa depan
Dalam video TikTok tersebut juga dijelaskan bahwa orang tua mengomentari ‘cengeng’ anaknya ketika anak menangis itu mampu membuat anak bully proof dan tahan banting. Pembuat konten itu mengklaim metode ini bisa membuat anak terbiasa sehingga tahan bullying.
Konten ini menuai pro kontra dan berbagai respon dari warganet, termasuk komentar psikolog yang mengkritik metode kontroversial ini. Berikut selengkapnya terkait apa itu bully proof dan bagaimana sebaiknya metode ini diajarkan ke anak.
Apa Itu Bully Proof, Benarkah Bisa Membuat Anak Tahan Perundungan?
Menanggapi video konten TikTok soal Bully Proof tersebut, dokter Jiemi Ardian seorang psikiater menyatakan bahwa ia tidak sependapat dengan konsep dari konten tersebut.
“Otak anak itu cara kerja berbeda dari otak dewasa, kemampuan memproses secara kognitif juga berbeda dari orang dewasa. Kita nggak bisa menyamakan apa yang kita pikir secara dewasa dengan apa yang terjadi pada anak,” kata dokter Jiemi Ardian melalui konten video yang diposting di laman Instagram pribadinya.
Dokter Jiemi menjelaskan, tumbuh kembang anak dimulai dari otak yang paling primitif bagian yang mengenali rasa takut lalu berkembang ke emosional dan yang terakhir adalah otak yang rasional.
Sehingga pemenuhan kebutuhan rasa aman dan pemenuhan kebutuhan emosional ada lebih dulu ketimbang pikiran yang rasional.
Agar Anak Kuat dan Tahan Banting
“Untuk menjadikan anak kecil menjadi “kuat”, maka kedua kebutuhan awal. Yaitu, rasa aman dan kebutuhan emosional sebaiknya terpenuhi dulu,” tambah Jiemi.
Dokter Jiemi mengatakan, jika sebuah interaksi dirasakan cukup prediktif dan memenuhi kebutuhannya maka di situ anak akan merasa aman.
“Jika kemudian sebuah kebutuhan ini tidak terpenuhi, atau hubungannya tidak bisa diprediksi, sesekali pengasuhan keras, sesekali nggak, sesekali mendengarkan kebutuhan emosionalnya, sesekali nggak, dan benar-benar chaotic saja, maka anak tidak akan merasa aman, dan ini yang berisiko. Ini yang berisiko,” tegasnya.
Jiemi menjelaskan, anak kemudian akan mengembangkan pola-pola attachment, atau kelekatan. Pada pola kelekatan yang aman, anak akan bisa berinteraksi dengan aman karena di melihat dunia sekitarnya sebagai keadaan yang relatif baik.
Sebaliknya, jika anak merasa tidak aman, dia mungkin jatuh di antara satu dalam dua kategori ini. Yaitu, entah itu menjadi cemas, atau itu menjadi avoidant atau menghindar.
“Anak-anak yang cenderung cemas, lebih beresiko mengalami bullying/perundungan. Hal ini karena dia cenderung mempertahankan hubungan yang sebenarnya nggak sehat lagi. Tapi, karena begitu cemasnya ditinggalkan lebih baik berada di dalam hubungan ini. Sebaliknya, anak-anak yang menghindar lebih cenderung menjadi pelaku perundungan, karena sulit merasakan emosi orang lain. Dia menyakiti orang lain dia menganggapnya bercanda saja, padahal bisa saja itu menyakiti,” tegasnya.
Maka alih-alih kita berusaha membuat anak menjadi “kuat”, bagaimana jika kita membuat anak menjadi sehat. Karena anak pada dasarnya resilience kok, anak pada dasarnya tahan banting, dan kuat sendiri. Anak pada dasarnya suka humor, merekalah yang ngajarin kita tentang bercanda. Jadi tidak perlu menginvalidasi perasaan anak, penuhi kebutuhannya, dan ajak, ajar dia, untuk merasa aman, demikian sebagaimana dijelaskan dokter Jiemi.
~
Jadi, langkah utama orang tua dalam membantu anak-anak kita bertahan ketika diintimidasi, bullying, atau menghadapi sumber trauma lainnya adalah membekali mereka dengan dasar ketahanan emosional yang kuat dengan memastikan bahwa mereka aman dan merasa diterima di rumah.