Yakin Mau Mempertahankan Pernikahan Demi Anak? Ini Penjelasan Pakar

mempertahankan pernikahan demi anak

“Saya sempat berpikir untuk mempertahankan pernikahan demi anak, tapi kemudian saya sadar bahwa anak akan bahagia kalau ibu juga bahagia. Lalu bagaimana bisa anak bahagia kalau hampir setiap hari melihat ibunya sering kali bertengkar dengan ayahnya, bahkan tidak jarang dibumbui dengan tindak kekerasan sehingga membuat ibunya menangis dan ketakutan?”

Pernyataan ini diajukan oleh Ariyana, ibu muda yang memiliki dua orang anak yang masih berusia 9 tahun dan 5 tahun. Di usia pernikahannya yang akan mmenginjak ke-11 tahun, ia memutuskan untuk bercerai. Ia menyatakan, sepanjang usia pernikahannya memang sering kali menghadapi konflik. Awalnya ia mengira hal tersebut merupakan kondisi yang wajar, namun lama kelamaan intensitas pertengkaran demi pertengkaran justru semakin meningkat.

“Awalnya saya pikir, bertengkar atau salah paham dengan suami hal yang biasa. Tapi lama-lama situasi pernikahan kami rasanya sudah tidak sehat. Masalah yang ada tidak pernah tuntas diselesaikan, yang ada semakin kusut. Sulit sekali diurai, apalagi kalau hanya saya yang berusaha mengurainya. Saya sangat lelah berusaha seorang diri. Ujung-ujungnya, malah bikin saya cepat emosi. Anak kena sasaran kemarahan saya. Tangki cinta yang saya butuhkan selalu kosong, lalu bagaimana saya bisa memberikan cinta ke anak-anak saya sementara kondisi saya saja seperti ini?”

Apa yang dialami Ariyana, mungkin pernah atau sedang dirasakan Mama. Pengalaman ini tentu saja menimbulkan dilema, apakah harus mempertahankan pernikahan demi anak, atau memutuskan berpisah dengan pasangan sehingga anak berisiko kehilangan figur sang Papa di kehidupannya?

Bacaan Lainnya

Di laman psychologytoday , Ps Jason N. Linder, PsyD, menuliskan bahwa ia memiliki sudut pandang yang berbeda dibandingkan dengan pandangan umum: bahwa perceraian mungkin berdampak baik bagi keluarga, khususnya anak.

“Saya tidak dapat memberi tahu berapa banyak klien menikah yang saya temui dalam praktik saya yang telah diindoktrinasi untuk percaya bahwa tetap bersama adalah pilihan yang terbaik.  Bahkan dalam pernikahan yang sering kali sudah dalam tahapan toxic atau ‘beracun’ akan lebih baik bagi anak-anak mereka daripada memilih berpisah.

Dalam beberapa atau bahkan banyak kasus, hal ini mungkin benar. Secara budaya, kita tampaknya sangat mendukung gagasan ini, dan terdapat banyak penelitian psikologis yang menguatkan penelitian ini selama beberapa dekade (misalnya, Amato, 2000; Garriga dan Pennoni, 2022). Namun, dalam beberapa kasus, perceraian justru dapat berdampak positif bagi seluruh anggota keluarga (Kendler, 1987; Becher et al., 2019),” jelasnya.

Hal senada pun disampaikan Anna Surti Ariani, S. Psi.,M.S. Psikolog Keluarga yang kerap disapa Mbak Nina. Ia mengatakan bahwa salah satu pondasi penting di dalam pernikahan adalah hubungan yang sehat antara suami dan istri. Dari sini, anak juga akan melihat dan memiliki citra yang positif terkait dengan relasi pernikahan. Perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua IPK Indonesia Wilayah DKI Jakarta ini menambahkan jika mempertahankan pernikahan demi anak, orangtua wajib menciptakan kembali hubungan yang baik.

“Saat ada masalah dalam rumah tangga, bercerai memang bukan satu-satunya pilihan. Tapi, terkadang bercerai juga bisa menjadi jalan keluar yang terbaik untuk semua pihak. Biar bagaiman pun perpisahan atau perceraian bukan hal yang mudah. Sebelum memtuskan tidak ada salahnya untuk memperbaiki pernikahan dan meminta bantuan pada pihak ke-3 yang tepat,” urai Mbak Nina ketika berbicang dengan Parentsquads.

Bisakah MamPap Menjadi Orang Tua yang Baik Saat Tidak Bahagia?

mempertahankan pernikahan demi anak

Sudahkah MamPap mengajukan pertanyaan ini pada diri sendiri? Banyak orang tua yang menjadikan anaknya sebagai alasan untuk tetap bertahan dalam pernikahan.  Mereka percaya bahwa dapat memisahkan pernikahan dari kehidupan sehari-hari sebagai orang tua. Meskipun hal ini kadang-kadang mungkin terjadi, namun secara praktis tidak mungkin untuk memisahkan keduanya sepenuhnya.

Faktanya, pada saat MamPap tidak bahagia dalam pernikahan justru berisiko mengalami depresi, kecemasan, dan emosi negatif lainnya yang dapat membebani. Orang tua yang pernikahannya tidak bahagia sering kali mengalami kesulitan yang berarti dalam mendampingi anak-anaknya.

Kesedihan dan frustrasi mereka dapat mengikis kesabaran yang mereka butuhkan untuk menjadi orang tua yang baik. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan perasaan bersalah atas kesulitan mengasuh anak membuat mereka merasa lebih buruk tentang situasi mereka.

Jika MamPap tidak bahagia dalam pernikahan, cobalah jujur pada diri sendiri dan membuat penilaian yang jujur mengenai apakah bisa menjadi orang tua yang layak bagi anak-anak? Sebenarnya, perceraian memberikan kesempatan untuk bisa memfokuskan kembali hubungan dengan anak-anak dan membebaskan diri dari ketidakbahagiaan yang menghalangi menjadi orang tua yang MamPap inginkan.

Mempertahankan Pernikahan Demi Anak atau Bercerai, Anak Akan Merasakannya

mempertahankan pernikahan demi anak

Tidak bisa dipungkiri, pada saat anak mengetahui perceraian yang dialami MamPap akan menimbulkan berbagai perasaan. Ada kalanya pasca-perceraian bisa melemahkan, namun bisa sebaliknya. Pada saat MamPap bercerai, anak bisa merasa bingung. Seperti karet gelang yang ditarik ke sana-ke sini dan berisiko untuk putus. Hasilnya, anak bisa merasa terasing.

Untuk itulah mengapa, perpisahan dengan cara yang sehat merupakan pilihan yang terbaik. Sebenarnya ada ratusan cara untuk menjalin hubungan. Anak-anak dapat tumbuh dengan baik pada saat orang tuanya bercerai.

Pada dasarnya, kemampuan seorang anak untuk tumbuh dengan sukses bergantung pada memiliki orang tua yang terbuka dan komunikatif. Orang tua yang berkomitmen untuk bersikap baik satu sama lain di masa mendatang kemungkinan besar akan baik-baik saja.

Perceraian sebenarnya bisa mengurangi tingkat konflik yang terjadi di antara orang tua. Hal ini tentu saja dapat menciptakan lingkungan yang sehat, stabil dan damai bagi anak-anak. Tidak bisa dipungkiri, tingginya tingkat konflik yang intens antara orang tua menimbulkan stres bagi anak-anak.

Dalam beberapa kasus bahkan bisa menimbulkan trauma. Hal ini jugalah yang akhirnya membuat anak merasa kurang aman. Ketika mereka merasa tidak aman, mereka tidak dapat fokus secara efektif dalam belajar, bersosialisasi, atau melakukan aktivitas penting dan sehat lainnya. Ps Jason N. Linder menegasakan bahw mengakhiri hubungan yang tidak sehat dan disfungsional dapat memberikan lingkungan yang lebih positif dan mendukung bagi anak-anak untuk berkembang secara sehat.

Mempertahankan Pernikahan Demi Anak: Mengapa Tidak Selalu Baik

Keputusan untuk bercerai atau mempertahankan pernikahan demi anak bisa memiliki dampak yang kompleks pada anak-anak. Meskipun keberlanjutan pernikahan bisa memberikan stabilitas dalam kehidupan keluarga, dampaknya dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor seperti tingkat konflik dalam hubungan, kesejahteraan emosional orang tua, dan bagaimana orang tua menangani konflik tersebut.

Berikut beberapa pertimbangan yang bisa diperhatian sebelum memutuskan untuk mempertahankan pernikahan demi atau bercerai.

mempertahankan pernikahan demi anak

  • Melakukan Pengasuhan Bersama

Setelah bercerai, MamPap bisa sepakat untuk melakukan co-parenting atau melakukan pola asuh bersama yang lebih baik. Faktanya, cinta orang tua pada anaknya tidak akan berubah. Orang tua akan terus menyayangi, berbagi cinta sehingga dapat membantu menyatukan mereka dalam misi baru yang berfokus hanya pada pengasuhan bersama. Dengan demikian, perceraian dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan hubungan pengasuhan bersama demi kebaikan anak-anak.

Ketika orang tua tidak lagi memaksakan hubungan romantis/intim yang tidak berhasil, mereka mungkin lebih mampu berkomunikasi dan bekerja sama untuk membesarkan anak-anak mereka. Hal ini dapat menghasilkan pengalaman mengasuh anak yang lebih positif dan kolaboratif; orang tua yang bercerai mungkin dapat memberikan kehadiran yang lebih stabil dan konsisten dalam kehidupan anak-anak mereka.

Selain itu, tidak mengalami kesulitan dalam hubungan juga dapat memberikan lebih banyak waktu, ruang emosional, dan kesabaran kepada orang tua; satu jam ekstra yang dihabiskan untuk berdebat, misalnya, kini dikosongkan untuk menjalin ikatan dan mengurus anak-anak mereka.

  • Peningkatan Kepuasan Individu

Perceraian atau perpisahan juga dapat memberikan lebih banyak kesempatan kepada MamPap untuk mencapai tujuan dan minat masing-masing. Hal ini termasuk mengupayakan hubungan intim atau romantis yang lebih sehat dengan pasangan yang lebih cocok.

Ketika kebutuhan romantis atau intim terpenuhi, sehingga MamPap kembali menemukan dan merasakan kebahagiaan dalam kehidupan mereka, kemungkinan besar MamPap akan lebih mampu memberikan lingkungan yang lebih sehat, penuh kasih sayang, dan mendukung anak-anak untuk terus bertambuh. Selain itu, dengan memberikan contoh perawatan diri yang sehat dan kepuasan pribadi, MamPap juga dapat membantu anak-anak belajar menghargai kebutuhan dan minat mereka sendiri.

  • Menjadi Teladan yang Positif Bagi Anak

Tetap berada dalam pernikahan yang penuh konflik dapat memberikan kesan yang salah kepada anak-anak. Bahwa dinamika yang tidak sehat dalam sebuah hubungan pernikahan adalah hal yang “normal”. Perceraian juga dapat memberikan kesempatan bagi MamPap untuk memberikan contoh perilaku hubungan yang sehat.

Dengan mengakhiri hubungan yang tidak berhasil, justru dapat menunjukkan kepada anak-anak mereka pentingnya harga diri, komunikasi yang sehat, mengatasi dan memperbaiki konflik, dan pentingnya memiliki batasan.

Perlu diingat bahwa hal ini dapat membantu anak-anak belajar membentuk hubungan yang lebih sehat dalam kehidupan mereka sendiri dikemudian hari. Hubungan keluarga berfungsi sebagai blue print dasar untuk hubungan masa depan anak-anak, seiring mereka berkembang, bertumbuh, dan berkembang secara relasional di luar keluarga.

Apapun keputusan MamPap, mempertahankan pernikahan demi anak atau memilih untuk bercerai semoga menjadi pilihan yang terbaik, ya.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ sixty three = 68