MamPap mungkin pernah mendengar tentang penyakit autoimun? Ternyata, kondisi ini tidak hanya bisa menyerang orang dewasa, lho. Meski kasusnya agak jarang, tetapi juga bisa dialami anak-anak, Tantangannya, penyakit autoimun pada anak bisa sangat sulit didiagnosis karena gejalanya yang sangat beragam dan mirip penyakit lainnya.
Oleh karena itu, MamPap juga perlu mengetahui lebih banyak tentang penyakit autoimun pada anak dan ada atau tidaknya risiko penyakit ini yang mungkin bisa terjadi pada si kecil. Simak ulasannya dalam artikel berikut.
Mengenal Penyakit Autoimun pada Anak
Menurut dr. Endah Citraresmi, SpA(K), Sekretaris Unit Kerja Koordinasi Alergi Imunologi IDAI dalam sebuah media briefing yang diadakan IDAI, penyakit autoimun sendiri terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh dari patogen (seperti virus dan bakteri) malah menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat.
Singkatnya, jika dalam kondisi normal, sistem kekebalan tubuh seharusnya mengenali dan menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh. Pada kondisi Autoimun, sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi jaringan sehat sebagai ancaman dan menyerangnya.
Penyakit autoimun paling sering terjadi pada perempuan dengan selisih 3 banding 1 dibandingkan pria. Yang patut diwaspadai, dari data Februari 2023 yang dipaparkan dr. Endah, kasus penyakit autoimun ternyata semakin meningkat di seluruh dunia dari tahun ke tahun.
Penyebab dan Faktor Risiko Penyakit Autoimun pada Anak
Sampai saat ini, para ahli belum tahu penyebab pasti mengapa sistem imun pada beberapa anak mulai menyerang tubuh mereka sendiri.
Menurut dr. Endah, meski belum diketahui secara pasti penyebabnya, ada beberapa faktor risiko yang bisa memungkinkan terjadinya autoimun pada anak, seperti faktor genetik, gender, dan juga interaksi gen dengan lingkungan.
“Selain itu, ada beberapa faktor lain seperti faktor hormon, diet vitamin D dan mikronutrien lain, dan sinar matahari. Ada juga beberapa dokter yang mengasumsikan beberapa produk kimia, merkuri organik, hingga infeksi bisa memengaruhi kondisi ini. Namun, semua faktor itu juga masih harus ditinjau kembali,” ungkapnya.
Jenis Kelamin dan Genetik Bisa Jadi Faktor Risiko
Berikut beberapa faktor menurut para ahli yang bisa meningkatkan risiko penyakit autoimun:
- Jenis Kelamin: Anak perempuan hampir tiga kali lebih berisiko menderita penyakit autoimun daripada anak laki-laki, begitu juga dengan remaja putri dan wanita muda berada pada risiko terbesar, terutama pada beberapa jenis autoimun, seperti skleroderma dan lupus (SLE).
- Usia: Sebagian besar penyakit autoimun memengaruhi orang dewasa yang lebih muda dan setengah baya. Meski jarang, beberapa penyakit dimulai secara khusus pada masa kanak-kanak, seperti juvenile idiopathic arthritis dan juvenile dermatomyositis.
- Genetika: Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun menempatkan seorang anak pada risiko yang lebih tinggi. Bahkan, diperkirakan sekitar sepertiga dari risiko terkena penyakit autoimun terkait dengan sesuatu dalam gen anak.
- Ras: Beberapa laporan menunjukkan bahwa anak-anak dari ras yang berbeda mungkin lebih rentan terhadap penyakit autoimun tertentu. Anak-anak Afrika-Amerika, ada kemungkinan lebih berisiko terkena lupus (SLE) dan skleroderma daripada orang Kaukasia, tetapi hal yang sebaliknya berlaku untuk multiple sclerosis (MS), yang lebih sering menyerang anak-anak Kaukasia.
- Penyakit lain: Anak-anak dengan satu penyakit penyebab autoimun cenderung berisiko lebih tinggi terkena penyakit autoimun lain. Misalnya, anak-anak dengan diabetes tipe 1 tampaknya lebih rentan terkena penyakit celiac atau penyakit Addison.
- Faktor lingkungan: Penyakit autoimun mungkin tidak timbul sampai dipicu oleh sesuatu faktor seperti infeksi atau paparan racun atau obat-obatan tertentu.
- Faktor hormonal: Mengingat bahwa banyak penyakit autoimun cenderung memengaruhi gadis remaja dan wanita muda, hormon wanita tertentu mungkin juga berperan saat penyakit ini kambuh.
Gejala Autoimun Sulit Dideteksi
Tidak ada gejala spesifik yang mencakup spektrum penyakit autoimun. Gejala yang paling umum pun cenderung tidak spesifik, artinya gejala tersebut dapat disebabkan oleh suatu kondisi yang tidak ada hubungannya dengan sistem imun. Hal tersebut dapat mempersulit dokter untuk mendiagnosis penyakit autoimun pada anak. Akibatnya, seorang anak mungkin memerlukan sejumlah tes untuk mempersempit kemungkinan penyebab gejalanya.
Dokter Endah juga menjelaskan, penyakit autoimun dapat memengaruhi hampir semua bagian tubuh, meskipun gejalanya seringkali menyerang jaringan ikat (kulit, otot, dan sendi).
Gejalanya sangat beragam dan mirip dengan penyakit lainnya yang menyerang tubuh. Beberapa gejala umum yang paling awal sering dirasakan, di antaranya
- Kelelahan
- Demam
- Pusing
- Penurunan berat badan
- Nyeri otot atau sendi
- Ruam ringan hingga lesi kulit
- Persendian kaku
- Rambut rontok yang parah
- Mata dan mulut kering
- Tidak enak badan
Namun, beberapa tanda di atas bukanlah bukti konkret bahwa seorang anak menderita penyakit autoimun, tetapi hal tersebut menjadi tanda bahwa seorang anak sakit dan memerlukan perhatian medis.
Karena itu, diagnosis penyakit autoimun memang bisa lebih sulit, karena banyak gejala cenderung datang dan pergi dan sering kali tidak spesifik. Gejala spesifik tersebut biasanya akan terjadi bergantung pada jenis penyakit autoimun tertentu, dan organ yang terkena atau terdampak dari kondisi autoimun.
Karena itu, proses diagnosis penyakit autoimun akan melibatkan pemeriksaan fisik, tes laboratorium, hingga pemeriksaan radiologi. Maka, penting untuk diagnosis dini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Jenis Penyakit Autoimun pada Anak yang Paling Umum
Dokter Endah juga menjelaskan, dari sekian banyak, ada 3 jenis penyakit autoimun yang paling sering dialami anak-anak, di antaranya:
1. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA)
Penyakit ini bukan satu kondisi, tetapi merupakan nama umum untuk banyak jenis artritis yang dapat terjadi pada anak-anak. Artritis ditandai dengan pembengkakan sendi. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri, kekakuan, hingga kehilangan gerakan (kecacatan). Beberapa jenis artritis juvenil juga dapat melibatkan kulit, otot, mata, dan saluran pencernaan. Tingkat keparahan artritis juvenil bergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis yang ada.
Prevalensi penyakit ini terjadi pada 1 dari 1000 anak. Biasanya, bisa terjadi pada anak di usia 7 tahun hingga 16 tahun. Gejalanya akan timbul bertahap, menetap berbulan-bulan, hingga tahunan.
Penyakit ini menyerang sendi, terkadang kulit dan paru-paru. Karena itu, anak yang terkena biasanya akan mengalami inflamasi pada membran sinovial dari sendi, kerusakan tulang rawan sendi, osteoporosis, dan atrofi otot.
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Seperti semua penyakit autoimun, lupus menyebabkan sistem imun secara keliru menyerang tubuh itu sendiri. Yang membuat lupus tidak biasa adalah sifatnya yang tidak dapat diprediksi.
Penyakit ini dapat memengaruhi hampir semua bagian tubuh, dan sering kali banyak bagian pada saat yang bersamaan.
Dikenal juga sebagai SLE, penyakit ini merupakan kelainan autoimun kronis (berarti seumur hidup) tanpa penyebab atau pengobatan yang diketahui memengaruhi sekitar 5 juta orang di seluruh dunia, paling sering adalah gadis remaja dan wanita muda (15 hingga 44 tahun). Penyakit ini dapat menyerang berbagai bagian tubuh, termasuk kulit, sendi, darah, dan organ vital seperti ginjal, jantung, paru-paru, dan otak.
Lupus cenderung lebih aktif ketika gejala meningkat atau kambuh, dan kurang aktif ketika gejala tampak menghilang. Meski jarang terjadi, tetapi lupus bisa dialami pada anak-anak, yaitu sekitar 10% persentasenya.
Pada lupus, dokter tidak dapat memprediksi bagian tubuh mana yang akan diserang oleh sistem imun, atau kapan. Namun, mereka dapat menggunakan obat-obatan untuk membantu mencegah atau meredakan serangan ini dan meredakan peradangan yang berbahaya.
Jika SLE terjadi pada anak-anak, biasanya penyakit ini lebih parah menyerang anak-anak daripada orang dewasa dan menimbulkan risiko kesehatan tambahan, karena anak-anak memiliki waktu lebih lama untuk mengalami kerusakan organ dibandingkan dengan orang dewasa.
Anak-anak dengan lupus bisa mengalami beberapa risiko berikut:
- Lebih mungkin mengalami masalah dengan sistem organ vital — yang paling kritis, ginjal dan sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang).
- Mengalami kerusakan organ akibat penyakit lebih cepat
- Memiliki “beban penyakit” yang lebih tinggi selama hidup mereka. Artinya, semakin dini lupus dimulai, semakin banyak tahun yang mereka habiskan untuk hidup dengan penyakit tersebut.
3. Vaskulitis IgA – Henoch Schonlein Purpura
Vaskulitis IgA atau Purpura Henoch-Schonlein adalah kelainan yang menyebabkan pembuluh darah kecil di kulit, persendian, usus, dan ginjal menjadi meradang dan mengalami pendarahan.
Ciri yang paling mencolok dari bentuk vaskulitis ini adalah ruam berwarna ungu, biasanya pada tungkai bawah dan bokong. Purpura Henoch-Schonlein juga dapat menyebabkan nyeri perut dan nyeri sendi, hingga kerusakan ginjal yang serius, meskipun jarang terjadi.
Purpura Henoch-Schonlein dapat menyerang siapa saja, tetapi paling umum terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun. Kondisi ini biasanya membaik dengan sendirinya. Perawatan medis umumnya diperlukan jika gangguan tersebut menyerang ginjal.
Dampak Penyakit Autoimun pada Anak
Ditambahkan dr. Endah, penyakit autoimun pada anak tidak bisa disepelekan karena memiliki dampak psikososial hingga kualitas hidup sang anak.
“Selain gangguan fisik seperti rasa nyeri hingga kelumpuhan, penderita juga bisa mengalami gangguan penampilan seperti kelainan kulit atau kelainan sendi. Bosan minum obat dalam jumlah yang banyak dan lama, belum lagi efek samping obatnya. Hal ini tentu akan berdampak kepada kualitas hidupnya. Anak bisa mengalami gangguan belajar, stres, hingga depresi karena harus berobat rutin,” tambah dr. Endah dalam media briefing IDAI.
Bisakah Dicegah?
Dokter Endah mengatakan, pencegahan bergantung pada faktor risiko yang ada. “Tentu kalau genetik tidak bisa dicegah. Tetapi, faktor lingkungan yang bisa kita cegah. Masalahnya, tidak semua faktor lingkungan juga bisa kita cegah. Agak sulit mencegah, kecuali kita bisa mengendalikan lingkungan kita”.
Ia menambahkan, pada akhirnya yang bisa kita lakukan adalah hanya memperbaiki gaya hidup, memperbaiki pola makanan dengan makanan yang bergizi. “Kalau gaya hidupnya bisa kita kendalikan, berarti itu cara yang bisa kita lakukan agar ia tidak timbul,” tutupnya.
Itulah penjelasan tentang penyakit autoimun pada anak yang perlu kita waspadai, mengingat gejalanya tidak spesifik dan seringkali mirip dengan penyakit lain. Jangan abai, dan tetap jaga pola hidup sehat ya, MamPap. Semoga informasi ini bermanfaat.
***
Partner terpercaya dan teman perjalanan parenting para orang tua agar bisa memberikan keamanan yang anak-anak butuhkan untuk tumbuh dan berkembang, serta mampu mewujudkan impiannya.