Cara komunikasi dengan anak yang efektif adalah indikator utama membangun hubungan baik anak dan orang tua. Mama dan Papa dipercayakan dengan tanggung jawab besar untuk membesarkan generasi penerus yang seharusnya kuat secara fisik dan psikis untuk menghadapi tantangan yang ada dan yang akan datang.
Namun saat ini, banyak orang tua yang tampak kewalahan, terutama dalam berkomunikasi dengan si kecil, baik itu dalam berbicara atau bahkan mendengarkan mereka.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, artikel ini menawarkan tips dengan contoh dialog tentang cara berbicara dan komunikasi dengan anak agar mau mendengarkan, dan sebaliknya, bagaimana orang tua perlu mendengarkan saat anak berbicara.
Cara Komunikasi dengan Anak dalam Islam
Menjaga hubungan komunikasi yang baik dengan anak adalah dasar untuk membesarkan dan mendidik si kecil untuk memenuhi tugas mereka sebagai seorang Mukmin. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang atasnya malaikat-malaikat yang keras dan keras; mereka tidak mendurhakai Allah dalam apa yang Dia perintahkan kepada mereka tetapi melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” [At-Tahrim: 6]
Berikut adalah beberapa cara berkomunikasi dengan anak, agar anak bisa tumbuh besar sebagai anak yang sholeh dan sholehah.
1. Ganti nasihat dengan keteladanan dan pengalaman
Salah satu kesalahan berkomunikasi orang tua dengan anak adalah orang tua cenderung memberikan nasihat-nasihat yang dapat memblokir obrolan sehingga anak enggan melanjutkan percakapan. Inilah yang kerap mengakibatkan, gaya berkomunikasi banyak orang tua hanya sekedar hadir tanpa melibatkan emosi positif untuk mengerti kebutuhan sang anak.
Padahal menurut Najeela, sangat penting bagi anak perasaannya didengarkan oleh orang tua dengan menunjukkan rasa empati. “Cara yang lebih efektif dalam berkomunikasi adalah refleksi pengalaman. Jadi, ubah nasihat orang tua yang menghambat komunikasi dengan cerita yang merefleksikan pengalaman untuk memperlancar komunikasi,” kata Najeela di acara Talk Parenting, sebagaimana dikutip dari NU Online.
2. Mendengarkan dengan perhatian penuh
Laman The Islamic Reflection menjelaskan, cara berkomunikasi dengan anak dalam Islam dapat berjalan dengan baik, jika orang tua berkenan menjadi pendengar yang baik juga. Anak-anak merasa lebih mudah untuk berbicara tentang masalah mereka kepada orang tua yang benar-benar mendengarkan mereka. Dan terkadang, orang tua tidak perlu mengatakan apa pun untuk mendorong anak berbicara; seorang anak hanya membutuhkan pendengar yang simpatik.
Cara terbaik yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan menghentikan apa yang sedang mereka lakukan, berbalik menghadap anak-anak mereka, dan menatap mata mereka saat berbicara. Dengan cara ini, bahkan kalimat kecil pun (dalam merespons si kecil) sudah cukup.
3. Alih-alih pertanyaan dan saran, respon dengan kata-kata simpatik
Anak-anak tidak dapat berpikir jernih atau konstruktif ketika mereka terus-menerus dilempar dengan pertanyaan, kesalahan, atau nasihat.
Ikuti petunjuk anak dalam percakapan dan gunakan kata-kata sederhana seperti “oh…umm…” atau “Begitu”. Kata-kata ini, bila digabungkan dengan sikap peduli, membuat anak-anak mengeksplorasi pikiran dan perasaan mereka, dan mungkin menemukan solusi mereka sendiri, demikian dikutip The Islamic Reflection.
4. Hindari menyangkal perasaan yang dialami anak
Orang tua biasanya takut jika mengidentifikasikan perasaan yang dialami anak justru hanya akan memperburuk keadaan. Namun tahukah, itu justru sebaliknya. Anak-anak, pada kenyataannya, sangat terhibur mendengar alasan sederhana untuk apa yang mereka alami dan pengalaman batin mereka diakui oleh seseorang.
Ketika si kecil menangisi bonekanya yang rusak, dengan mengatakan hal-hal seperti, “Jangan menangis, itu hanya boneka. Kamu tidak dewasa”, dampaknya orang tua hanya akan memperburuk keadaan dengan kata-kata ini.
Si kecil justru akan senang ketika Mama mengatakan, “Mama tahu kamu merawat boneka itu dengan baik, Nak, dan kehilangan itu menyakitkan.”
5. Menjelaskan apa masalahnya
Tidakkah kita merasa relatif lebih mudah untuk menangani suatu masalah ketika seseorang hanya menjelaskan apa sebenarnya masalahnya? Sama halnya dengan anak-anak. Ketika orang dewasa menjelaskan apa masalahnya, anak-anak diberi kesempatan untuk memberi tahu diri mereka sendiri apa yang harus dilakukan.
Misalnya, orang tua bisa mempertimbangkan masalah yang akan terjadi ketika anak membiarkan lampu kamar mandi menyala setelah menggunakannya.
Sebaiknya orang tua tidak berteriak, “Berapa kali Mama harus memberitahu kamu untuk mematikan lampu kamar mandi setelah menggunakannya!?” Sebaliknya, orang tua bisa mengajak diskusi anak, “Kira-kira kalau lampu kamar mandi nyala terus, apa yang akan terjadi ya, Nak?” atau Oh iya, kalau lupa mematikan lampu, bisa bikin boros pengeluaran bulanan ya, berhemat yuk, Nak.”
Informasi jauh lebih mudah diterima daripada memberi tuduhan atau ancaman ke anak. Pada saat berkomunikasi dengan keluarga, terkadang orang tua ragu dan secara tidak sengaja melontarkan kata-kata kurang tepat bernada tuduhan yang dapat melukai perasaan anak.
Misalnya, jika si kecil mencoret-coret dinding, alih-alih berkata, “Jika Mama memergoki menulis di dinding itu lagi, kamu akan dihukum, ya!” Orang tua sebaiknya berkata, “Dinding bukan untuk menulis. Kertas adalah untuk menulis. Mengapa kamu tidak menulis di kertas?”
Ketika anak-anak diberi informasi yang tepat, mereka biasanya dapat mencari tahu sendiri apa yang perlu dilakukan.
7. Ungkapkan perasaan agar anak memahaminya
Anak belum tentu mengerti apa yang orang tuanya rasakan, tetapi mereka berhak mendengar perasaan jujur orang tuanya. Orang tua harus memberi tahu anak-anak mereka bagaimana perasaan mereka, dengan tulus tanpa menyakiti.
Misalnya ketika si kecil terus melakukan sesuatu yang tidak disukai ayahnya, contohnya ketika anak menarik lengan bajunya, alih-alih berkata, “Hentikan! Kamu tidak bisa dibilangin, ya!” Sebaiknya orang tua mengatakan perasaan dengan tulus tanpa menyakiti, “Papa tidak suka lengan baju papa ditarik, Nak. Kalau bajunya sobek, Papa sedih.”
8. Hargai perjuangan anak
Ketika anak-anak berjuang melalui sesuatu dan orang tua mengakui dan menghormatinya, anak-anak akan mendapatkan keberanian untuk menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri. Dengan cara ini, orang tua meningkatkan kemandirian si kecil.
Misalnya, ketika anak kesulitan membuka toples selai, alih-alih langsung berkata, “Berikan toples itu pada Mama”, Mama bisa mengatakan, “Toples terkadang memang sulit dibuka, coba buka dengan sendok ini, Nak.”
9. Jangan hilangkan harapan Anak
Biarkan anak menjelajah dan merasakan pengalaman sendiri, daripada terus menerus mencegah anak merasa kecewa. Dengan mencoba melindungi anak-anak dari kekecewaan, kita justru mencegah mereka dari berharap, berjuang, bermimpi, dan terkadang, dari mencapai impian mereka.
Misalnya ketika anak mengatakan, “Mungkin aku akan menjadi seorang insinyur ketika besar nanti.” Orang tua sebaiknya tidak menimpali, “Kalau nilai matematika kamu seperti sekarang ini, mana bisa!”
Orang tua bisa menggantinya dengan menjawab, “Jadi, kamu ingin menjadi insyinyur. Ceritakan lebih banyak tentang itu, Nak.”
~
Demikian 9 cara komunikasi dengan anak agar si kecil tumbuh dengan karakter yang baik, menjadi anak sholeh, sholehah, dan menjadi muslim yang bermanfaat. Komunikasi dalam keluarga yang sehat tentu menjadi dasar yang penting untuk perkembangan si kecil, terutama dalam menjalin relasi yang sehat dengan orang tuanya. Semoga bermanfaat.