KDRT Lagi! Ini Alasan Perselingkuhan Jadi Pemicu dan Sulitnya Korban Melepaskan Diri

kasus KDRT

Kasus KDRT terjadi lagi. Kali ini dialami seorang selebgram asal Aceh yang berdomisili di Bogor. Unggahan video korban di media sosial miliknya membuat publik geram. Bagaimana tidak, terlihat sang suaminya, Armor Toreador (AT), melakukan tindakan kekerasan fisik yang mengerikan.

Dengan tersedu-sedu, korban mencoba berkomunikasi. Bukannya mendapat perhatian dan tanggapan positif, pelaku justru memborbadir korban dengan pukulan. Tidak hanya melakukan kekerasan fisik, dalam video tersebut juga membuktikan bahwa korban mendapat kekerasan psikis karena menerima kata-kata kasar.

Korban juga mengungkapkan jika kasus KDRT yang dialaminya sudah berlangsung selama lima tahun. Tidak hanya KDRT, pelaku pun melakukan perselingkuhan.

kasus KDRT
Tangkapan Layar Video CCTV (Foto: dok. Instagram @cut.intannabila)

“Selama ini saya bertahan karna anak, ini bukan pertama kalinya saya mengalami KDRT, ada puluhan video lain yang saya simpan sebagai bukti, 5 tahun sudah berumah tangga, banyak nama wanita mewarnai rumah tangga saya, beberapa bahkan teman saya. Sudah berkali-kali saya maafkan, tapi tak pernah terbuka hatinya, ternyata benar, perselingkuhan dan KDRT tidak akan pernah berubah, maafkan saya jika selama ini menutup diri, membuat beberapa konten menyinggung, saya seorang diri tidak pernah membuka aib rumah tangga saya, saya jaga martabatnya, hari ini saya sudah tidak bisa menahan semua sendiri.”

Bacaan Lainnya

Peristiwa kasus KDRT ini langsung menjadi sorotan, mengundang simpati  dan kemarahan publik. Sekaligus mengingatkan kembali bahwa KDRT merupakan tindak kriminal, bukan aib keluarga, dan terjadi bukan karena kesalahan korban.

Pertanyaan selanjutnya, benarkah peselingkuhan bisa memicu terjadinya kasus KDRT, mengapa korban sering kali sulit melepaskan diri, dan mampukah pelaku mengubah sikapnya?

Simak penjelasan Sarah Siahaan,M.Psi.,Psikolog. Psikolog Klinis Dewasa dari PION Clinician.

Apakah kasus KDRT ini juga bisa dipicu karena sebelumnya sudah terjadi perselingkuhan?

Iya, perselingkuhan memang bisa memicu atau memperburuk KDRT. Tapi biasanya terjadi pada individu atau hubungan yang sejak awal sudah memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif. Tapi, bisa dibilang nggak selalu, ya.

kasus KDRT

Perselingkuhan kan sering disebut sebagai pemicu stres yang signifikan dalam hubungan. Nah. ini kemudian mengarah ke peningkatan respons emosional seperti kemarahan, kecemburuan, dan perasaan dikhianati. Emosi ini yang kemudian dapat meningkat menjadi tindakan kekerasan.

Menurut penelitian, perselingkuhan yang di-perceived atau yang benar-benar terjadi dapat meningkatkan risiko KDRT, terutama dalam kasus-kasus di mana ada masalah yang mendasari kontrol atau posesif.

Kenapa, pada kasus KDRT, korban sering kali sulit untuk melepaskan diri?

Korban KDRT seringkali memaafkan pasangannya dan berharap bahwa segala sesuatunya akan berubah. Ini karena didasari oleh interaksi yang kompleks antara faktor-faktor psikologis. Seperti keterikatan emosional, disonansi kognitif, learned helplessness, dan cycle of abuseCoba diuraikan satu persatu, ya.

Faktor yang membuat korban sulit keluar dari KDRT

1. Keterikatan Emosional

Banyak korban yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan pelaku kekerasan. Biasanya hubungannya dimulai dengan cinta dan kasih sayang, dan kalaupun ada kekerasan, pelaku mungkin menunjukkan penyesalan setelahnya. 

Jadi semacam ada siklus kekerasan yang diikuti oleh periode yang tampak harmonis. Ikatan emosional, ditambah dengan memori masa-masa yang lebih baik ini menyulitkan korban untuk meninggalkan dan merasa pelaku akan berubah.

2. Kasus KDRT Bisa Sebabkan Disonansi Kognitif

Korban mungkin mengalami disonansi kognitif, dimana ada keyakinan yang saling bertentangan yang menyebabkan ketidaknyamanan. Di satu sisi, mereka mengakui pelecehan tersebut, tetapi di sisi lain, mereka mungkin percaya pada kebaikan yang melekat pada pasangannya atau mereka masih percaya adanya kemungkinan untuk berubah. Jadilah selalu memaafkan dan berharap perubahan itu akan datang

3. Learned Helplessness

Seiring berjalannya waktu, korban KDRT berulang dapat mengembangkan rasa ketidakberdayaan yang dipelajari, di mana mereka jadi merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi mereka. Hal ini dapat berasal dari kritik, manipulasi, dan isolasi yang terus menerus dilakukan oleh pelaku.

4. Cycle of Abuse

Siklus abuse biasanya melibatkan periode tension, violence, dan rekonsiliasi. Selama fase rekonsiliasi, pelaku dapat mengungkapkan penyesalan yang mendalam, berjanji untuk berubah, atau menghujani korban dengan cinta dan kasih sayang. Hal ini dapat menciptakan rasa lega dan harapan sementara pada korban, membuat mereka memaafkan pasangannya dan percaya pada kemungkinan masa depan yang lebih baik.

Nah, dinamika psikologis di atas, dikombinasikan dengan faktor-faktor seperti ketakutan, ketergantungan finansial, stigma sosial, dan kekhawatiran tentang anak-anak, bisa membuat korban menjadi sulit untuk melepaskan diri dari hubungan, sehingga sering kali membuat mereka memaafkan dan berharap akan adanya perubahan.

kasus KDRT

Sebenarnya apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan kekerasan terhadap pasangannya?

Faktor pemicunya cukup banyak, ya. Tapi biasanya compulsive behavior ini muncul dari masalah mental lainnya. Misalnya depresi, isu trauma masa kecil yang mungkin tidak disadari, tapi untuk kejadian yang dialami oleh salah satu influencer ini, tidak tahu, ya. 

Dari pemberitaan yang saya sudah baca, tindakan KDRT yang ia alami itu kan sebenarnya tidak hanya sekali. Tapi sudah sampai 5 tahun, tetapi istrinya tetap bertahan, mungkin ini disebabkan karena berharap akan berubah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mungkin dengan punya baby memunculkan harapan akan lead to change. Kondisi atau kasus seperti ini sering terjadi. 

Tapi pada kasus KDRT, memangnya pelaku bisa ‘sembuh’?

Bisa iya, bisa juga nggak. Sebenarnya, pelaku KDRT memiliki kapasitas untuk berubah.  Tetapi, ya, harus dimulai dari diri sendiri. Ada keinginan dan komitmen untuk bisa berubah. Pelaku perlu sadar kalau kasus KDRT ini bukan salah korban, perlu sadar kalau pasangannya nggak salah dan nggak pantas disakiti.

Prosesnya tentu saja nggak sebentar, ya. Butuh waktu yang cukup panjang dan berkelanjutan karena sering kali berlangsung seumur hidup. Korban memang sering kali  berharap pelakunya bisa berubah, tetapi perlu diingat kalau mereka bisa kembali melakukan kekerasan. Siklusnya terjadi berulang.

Umumnya, tindakan kekerasan ini tidak muncul begitu saja. Seperti apa redflag yang sebenarnya bisa dikenali?

Umumnya sudah ada patternnya, di mana pelaku ini manipulatif. Redflagnya mungkin bisa dilihat dari keinginan dirinya untuk menguasai atau mengontrol. Mengontrolnya ini juga bisa dari berbagai sisi ya, seperti membatasi pertemanan atau lingkungan sosial, keuangan, hingga mengontrol pikiran yang sekarang mungkin dikenal dengan gaslighting. 

Termasuk love bombing. Dimana bentuk hujanan cinta yang diperlihatkan sebenarnya bentuk manipulasi emosional yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan. Bentuknya sangat bermacam-macam, mengutarakan rasa cinta dan perhatian yang begitu banyak. 

Sebenarnya, tujuan dari love bombing ini juga berkaitan dengan menciptakan kontrol dan ketergantungan. Pada kasus KDRT biasanya, love bombing ini terjadi di fase bulan madu untuk membangun perasaan senang dan bahagia. 

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two + 2 =