Dianggap kabar gembira, tapi mengapa tidak semua ibu senang mendengar UU cuti melahirkan 6 bulan ini, ya? Ini alasan beberapa Mama yang juga bagian dari komunitas Parentsquads.
“Aku sih, lebih senang kerja, dan menurutku 6 bulan kelamaan. Justru yang bikin ASI deras itu kan ya kalau ketemu teman-teman kantor. (Kelamaan) kangen teman kantor juga, kan, ujar Caca, Mama 2 anak yang juga karyawan swasta.
Kalau menurut Mama sendiri bagaimana? Apakah setuju UU ini diterapkan, atau adakah dari isi UU tersebut yang perlu diperbaiki?
Isi Pasal Cuti Melahirkan 3 Bulan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan sebagai Undang-undang (UU). Ini kabar besar, karena itu artinya, ibu bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan 3-6 bulan. Begini isi undang-undangnya.
Pengaturan mengenai hak cuti ibu hamil ini dimuat dalam UU KIA Pasal 4 ayat 3. Bunyi pasal tersebut adalah:
Ayat (3)
Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan:
- Cuti melahirkan dengan ketentuan:
- Paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan
- Paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
- Waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran;
- Kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja;
- Waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi Anak; dan/atau
- Akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya.
Beberapa ketentuan untuk mendapatkan cuti melahirkan 6 bulan di atas juga menjadi salah satu alasan sebagian Mama pesimis dengan undang-undang ini. Seperti halnya yang diungkapkan Aulia, Mama 1 anak, Freelancer berikut ini:
“Itu menurut saya kayak ‘kontraksi palsu’. Seolah-olah ‘angin surga’, tapi kalau diperhatikan kembali, ada syarat untuk mendapatkan hak cuti 6 bulan. Cuti wajib hanya berlaku 3 bulan, dan 3 bulan berikutnya opsional khusus untuk ibu dan bayi dengan kondisi. Sampai sekarang pun belum ada perusahaan yang approved. Takutnya nasib peraturan ini berujung seperti cuti haid saja. Yang dikhawatirkan ke depannya akan ada banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan perempuan menikah dan ibu bekerja. Ya, semoga bisa benar-benar diterapkan, ya.
Selain Aulia, Alfi, Mama 2 anak, Ibu Rumah Tangga, punya pendapat lain, dia percaya, ini akan sangat bermanfaat bagi ibu bekerja. “Mereka jadi bisa punya lebih banyak waktu untuk mengasuh dan menemani bayinya di rumah. Namun itu kembali lagi ke perusahaan masing-masing, karena UU ini pasti mempunyai dampak kurang memuaskan bagi para pelaku usaha,” kata Alfi.
UU Cuti Melahirkan 6 Bulan, Karyawan Tidak Boleh Diberhentikan
Adapun ayat 4 mengatur bahwa cuti melahirkan wajib diberikan oleh si pemberi kerja (sebagai pihak kedua).
Dalam ayat ini dijelaskan dengan tegas bahwa seorang ibu yang sedang cuti melahirkan tetap memperoleh haknya dan tidak bisa diberhentikan dari pekerjaannya. Hak yang dimaksud adalah mendapat upah penuh selama 3 bulan pertama.
Selanjutnya isi Pasal 5 adalah sebagai berikut:
“(1) Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(2) Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a berhak mendapatkan upah:
- secara penuh untuk 3 (tiga) bulan pertama;
- secara penuh untuk bulan keempat; dan
- 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.”
Meskipun ada hak wajib dibayar dan tidak boleh diberhentikan, tidak sedikit ibu bekerja yang memiliki kekhawatiran dari UU ini. Gita, Mama 1 anak, Karyawan Swasta, punya kekhawatiran kalau kebijakan ini bisa jadi bumerang bagi penerima cuti.
“UU ini bisa jadi bumerang karena kemungkinan tidak terjadi di seluruh kantor. Ditakutkan ibu yang mengambil cuti ini mendapat sentimen pribadi dari rekan kerja lainnya,” ujar Gita.
Di sisi lain, ia merasa cuti tersebut juga akan merepotkan rekan kerja karena pekerjaan si pengambil cuti didelegasikan ke rekan lainnya. “Apalagi kalau sampai 6 bulan, kan? I think, it will be wise kalau hak cuti juga diberikan ke laki-laki untuk jumlah (cuti) sedikit mirip.”
Gita memberi contoh cuti melahirkan yang diberlakukan di Eropa. Di sana, kata Gita, penerima hak cuti melahirkan, tidak memiliki kewajiban mengambil waktu cutinya sekaligus. Maksudnya, jatah cuti 3 atau 6 bulan itu diambil secara berkala hingga anaknya berusia 5 tahun.
Berdasarkan pengalaman Gita, kebutuhan menyusui bayi meningkat saat masuk bulan ke-3 dan 4. Sementara di waktu itu, jatah cuti melahirkan sudah habis. “Mungkin memang ideal, ya, kalo sampai usia 6 bulan di mana anaknya mulai menerima MPASI dan kebutuhan menyusunya tidak terlalu demanding lagi. Tapi, melihat budaya di Indonesia, cuti lebih dari 3 bulan itu nggak mudah bagi pelaku usaha.”
Gita juga menyarankan ada kebijakan lain yang diberikan pada pekerja yang belum diberikan anak, sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial dan kesenjangan dalam pekerjaan di perusahaannya.
Memang, selalu ada pro dan kontra dalam sebuah kebijakan. Bagaimana pendapat Mama tentang UU cuti melahirkan 6 bulan ini?
Partner terpercaya dan teman perjalanan parenting para orang tua agar bisa memberikan keamanan yang anak-anak butuhkan untuk tumbuh dan berkembang, serta mampu mewujudkan impiannya.