Self-harm pada remaja tidak boleh dianggap sepele karena tidak hanya akan merusak fisiknya tapi juga mental di masa depan. Yuk, kenali tanda-tanda dan cara mengatasinya.
Apa Itu Self-Harm?
Laman Healthy Children menjelaskan self-harm sebagai tindakan menyakiti, melukai atau melecehkan diri sendiri, dengan sengaja tanpa maksud untuk bunuh diri (Nonsuicidal Self-Injury/NSSI).
Hal ini juga sama seperti yang dijelaskan Tirza Tamalya, M.Psi. Psikolog dari Klinik Psikologi Ruang Tumbuh ini menjelaskan self-harm sebagai usaha atau perilaku seseorang yang ingin lepas atau keluar dari perasaan tidak nyaman atau sakit yang ada pada pikiran dan perasaannya.
“Hal ini berakibat si anak ingin melakukan tindakan cutting, burning, atau mengonsumsi makanan-minuman berbahaya dengan tujuan mendapatkan kelegaan atau self punishment,” terang Tirza dalam IG Live bersama Parentsquads bertajuk Di Balik Luka Ada Cerita: Memahami Fenomena Self-Harm di Kalangan Remaja”.
Meski tidak bertujuan untuk bunuh diri, kata Tirza, kondisi ini tetap saja tidak bisa dipandang sepele. Si anak perlu mendapatkan perhatian serius, karena jika dibiarkan terlalu lama berisiko membuat kondisi psikologi anak menjadi lebih parah, seperti mengalami depresi hingga mengarah ke perilaku suicide (bunuh diri).
Berdasarkan beberapa penelitian, self harm lebih banyak terjadi pada anak perempuan. Prevalensinya, anak perempuan 3:1 dan anak laki-laki 4:1. Merujuk literatur Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM 5), rasio ini memang tidak bisa dibilang bahwa anak perempuan lebih banyak mengalami self-harm. Kenapa?
Itu karena anak perempuan cenderung masih memiliki kemauan bercerita ke orang terdekatnya dan ada kemauan untuk mencari pertolongan. Berbeda dari anak laki-laki yang lebih tertutup, jarang mau berbagi meski itu dengan orang terdekatnya (apalagi psikolog), dan tidak mau minta tolong.
Penyebab Remaja Mengalami Self-Harm
Menurut Tirza, faktor penyebabnya ada banyak. Namun pemicu yang paling mempengaruhi adalah:
Pubertas
Hal ini bisa menjadi tantangan yang sangat besar bagi orang tua karena umumnya kondisi tersebut terjadi berbarengan saat anak mengalami pubertas.
Saat pubertas, anak mengalami perubahan hormon dan biologis. Perubahan (terlihat maupun tidak terlihat) ini biasanya membuat anak merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Misalnya saja anak mulai berjerawat jadi berjerawat dan bau badan.
Secara kognitif perkembangan otak anak juga berubah dari otak anak-anak menuju otak dewasa. “Jika diibaratkan dengan film Inside Out, kondisi otaknya masih under construction, masih dalam proses untuk disempurnakan. Itulah mengapa, anak sudah lebih kritis, tapi keputusan yang diambil masih banyak yang merugikan dirinya sendiri, impulsif, tiba-tiba dan kurang matang,” terang Tirza.
Semua perubahan-perubahan pada remaja ini kemudian berdampak pada bagaimana pola korelasi mereka (dengan orang di sekitarnya). Anak jadi lebih banyak berkomunikasi dengan teman sebayanya. Porsi komunikasi mereka dengan orang tua semakin kecil.
Pola asuh
Ya, pola asuh bisa memicu kondisi self-harm pada anak. Orang tua adalah lingkungan pertama si anak. Dari orang tua ada banyak pola-pola awal yang terbentuk, seperti pola komunikasi, pola anak mengekspresikan perasaan, pola anak menyelesaikan masalah, hingga bagaimana cara ia menghadapi stres.
Misalnya saja orang tua tipe pencemas, maka anak cenderung tumbuh menjadi seorang pencemas. Atau jika orang tua otoriter, anak bisa menjadi stres dan melampiaskannya dengan cara self harm.
Korban bullying
Korban bullying umumnya cenderung merasa ketakutan dan stres. Ketika korban tidak memiliki kemampuan menyampaikan masalahnya pada orang lain dan tidak tahu cara keluar dari masalah tersebut, maka kemungkinan besar ia akan melampiaskannya dalam bentuk self-harm.
Tips Agar Remaja Lebih Terbuka
Ada beberapa hal yang perlu diusahakan orang tua agar anak mereka yang sudah remaja mau lebih terbuka. Yakni:
- Harus orang tua yang memulai. Tirza menyarankan, “Sebagai orang dewasa kita harus lihat dulu kecenderungan komunikasi dan mau introspeksi. Seiring anak tumbuh remaja, cara komunikasi orang tua tentu sudah tidak bisa sama lagi seperti anak masih kecil. Di usia itu anak sudah ingin diperlakukan seperti teman, sejajar, ingin lebih didengar pendapat-pendapatnya dan lebih bebas berekspresi.”
- Cara tahu minat anak sebelum memulai diskusi. Mama bisa memulai diskusi dengan membicarakan hobi atau kesukaannya akan sesuatu.
- Cari momen yang pas untuk berdiskusi, misalnya saat anak sedang santai di rumah, sambil jalan-jalan sore di mol, atau di mobil ketika pulang sekolah.
Kenali Tanda-tanda Self-Harm pada Remaja
Tidak banyak remaja yang mau terbuka tentang perilaku self-harm mereka. Namun Mama bisa mengetahuinya dengan melakukan beberapa observasi dengan mengenali tanda-tanda self-harm pada remaja. Berikut ini caranya:
- Perhatikan tanda-tanda fisik pada tubuh anak, seperti luka (kering/basah) atau memar. Tanyakan penyebab luka tersebut dan perhatikan jawaban anak. Jika anak tak sanggup menjelaskan secara logis, apalagi jika lukanya terjadi berulang dan sering, Mama harus merasa curiga. Jangan sekali-kali cuek atau merespon kasar, “Makanya kalau jalan pake mata!”
- Perhatikan tanda overdosis obat atau keracunan, seperti mual dan muntah. “Self harm juga bisa dengan cara mengonsumsi obat-obatan berlebihan, misalnya dengan mengonsumsi obat sakit kepala atau pereda rasa nyeri.”
- Perubahan perilaku, seperti anak sering menarik diri, tidak mau diajak ke mana-mana, atau mengurung diri di kamar. “Ada juga anak yang sering mengenakan pakaian lengan panjang dan tebal (kemeja atau sweater) saat cuaca panas, juga mengenakan riasan tebal. Biasanya ini dilakukan untuk menyembunyikan sesuatu di balik pakaian atau kulit wajahnya.”
Selama mengamati perubahan ini, diharapkan orang tua tidak parnoan dan tetap lakukan observasi dengan gentle. Jika terlalu panik, ditakutkan Anda justru mengambil langkah keliru dan mengakibatkan anak semakin takut, lebih menutup diri dan merasa lebih disalahkan.
Minta Bantuan, Jangan Merasa Sanggup Mengatasinya Sendiri
Apa Mama yakin bisa mengatasi masalah self-harm pada remaja sendirian? Sebelum memutuskan, ada baiknya Mama mengukur diri apakah sanggup membantu dan membimbing anak sendirian atau perlu bantuan tenaga profesional.
Tirza menyarankan agar orang tua dengan remaja self-harm untuk terbuka pada bantuan. Untuk diketahui, self-harm tidak terjadi mendadak, melainkan akumulasi pengalaman sejak masa kecil sehingga ter-blow up di usia dewasa muda.
“Membalikkan kondisi self harm menjadi self love pada anak itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tenaga profesional dapat membantu anak membuka diri, mengenali dirinya sendiri, memahami dirinya, hingga sanggup mencintai dirinya sendiri. Bantuan akan sangat bermanfaat dalam meringankan perjalanan Anda bersama anak,” terang Tirza.
Sekali lagi, self-harm pada remaja ini masalah serius, jadi tidak ada salahnya mencari pertolongan profesional. Semangat ya, Ma.
Partner terpercaya dan teman perjalanan parenting para orang tua agar bisa memberikan keamanan yang anak-anak butuhkan untuk tumbuh dan berkembang, serta mampu mewujudkan impiannya.