Ada satu kalimat sekaligus pertanyaan yang kerap kali muncul di benak kita, para orang tua, “Bagaimana cara membuat anak bahagia, apa yang perlu dilakukan?”
Kalimat itu terdengar mulia, penuh dengan rasa sayang, bahkan tidak sedikit yang akhirnya menjadikannya sebagai tujuan pola asuh. Namun, benarkah membuat anak bahagia menjadi tugas utama orang tua?
Tidak bisa dipungkiri, saat ini tidak sedikit orang tua yang ‘terjebak’ dalam keyakinan bahwa peran utama orang tua adalah memastikan kebahagiaan anak terus-menerus.
Hati-hati Risiko Jika Membuat Anak Bahagia Terus Menerus
Memang secara naluriah, saat melihat anak kesal atau sedih, kita sebagai orang tua berusaha menghibur atau mengalihkan perhatian. Berusaha membuat anak dapat tersenyum kambali dan merasa bahagia lagi. Alhasil, pada saat anak merasa kesal atau tidak nyaman, orang tua langsung memutuskan turun tangan untuk menyelesaikan masalah, mengalihkan perhatiannya, atau berupaya secepat mungkin membuat anak bahagia.
Tidak salah memang, tetapi jika hal ini dilakukan secara terus menerus justru dapat berisiko. Kenyataannya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa terus-menerus diberikan orang tua. Lagipula bukankah ukuran atau makna bahagia setiap individu berbeda? Pun antara orang tua dan anak.
Tak hanya itu saja, anak pun perlu paham bahwa hidup tidak akan selalu ramah. Ada kalanya akan merasa sedih, gagal, kecewa, ditolak, bahkan merasa frustasi. Emosi negatif seperti ini adalah bagian dari hidup.
Bisa dibayangkan, apa jadinya jika sejak kecil mereka hanya diajarkan untuk merasa bahagia tanpa pernah diajak menghadapi ketidaknyamanan? Jika anak selalu ‘diselamatkan’, mereka kurang terlatih menghadapi emosi negatif yang dirasakannya. Baik rasa frustrasi, kekecewaan, atau saat menghadapi konflik. Mereka pun bisa tumbuh menjadi pribadi yang rapuh.
Apa yang Menjadi Tugas Utama Orang Tua?
Dona Matthews Ph.D. di laman Psychology Today memaparkan bahwa tanggung jawab orang tua bukanlah memastikan anak bahagia, namun memberikan apa yang dibutuhkan anak untuk bisa menciptakan kebahagiaan mereka sendiri.
“Tugas Anda adalah memastikan mereka memiliki kebutuhan dasar, makanan, tempat tinggal, kasih sayang, dan pakaian.Hal ini mendukung perkembangan terbaik mereka jika juga memberi mereka kesabaran, perhatian penuh kasih sayang, serta kesempatan untuk bermain, bereksplorasi, stimulasi, dan belajar.”
Apabila orang tua selalu memastikan anak merasa bahagia, dalam jangka panjang pola ini berisiko membuat anak kurang terlatih untuk mengenali dan mengelola emosinya sendiri. Anak mungkin jadi terbiasa bergantung pada orang tua untuk menenangkan diri, sehingga berkurang kesempatan untuk belajar menghadapi rasa frustrasi atau kekecewaan secara mandiri. Singkatnya, anak bisa kesulitan membangun daya tahan (resilience).
Alih-alih memastikan anak bahagia, yang diperlukan justru melatih mereka membantu mereka mengelola seluruh emosi dan bertindak sesuai perasaan mereka dengan tepat.
Setidaknya hal ini ditegaskan oleh Pritta Tyas, M.Psi., Psikolog, bahwa anak tidak perlu dituntut untuk terus merasa bahagia. “Bukan selalu memastikan dan membuat anak bahagia, karena yang paling penting justru anak sehat secara emosi”.
Indikator Anak Sehat Secara Emosi
- Anak mampu mengidentifikasi perasaan sendiri.
- Anak mampu mengekspresikan perasaan dengan cara yang sesuai pada saat senang, sedih, marah, atau kecewa.
- Anak terlatih untuk menenangkan dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan baik
- Anak bisa menjalin hubungan positif dengan orang lain (bermain bersama, berbagi, meminta maaf).
- Anak memiliki rasa empati terhadap situasi dan kondisi orang lain
Pada dasarnya, rasa kecewa, frustrasi, bahkan kebosanan, merupakan latihan alamiah agar anak belajar mengelola emosi, mencoba strategi baru, dan bangkit kembali. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ketahanan (resilience) justru dapat tumbuh pada saat anak mampu melewati berbagai tantangan.
Bahagia Menjadi Tanggung Jawab Diri Sendiri
Pada dasarnya, bahagia merupakan salah satu perasaan yang bisa dirasakan setelah anak mampu mempelajari dan melewati keterampilan hidup.
Ketika orang tua mengambil alih tanggung jawab itu, anak berisiko mengalami ketergantungan emosional. Di mana anak akan selalu mencari validasi atau intervensi dari orang tua setiap kali merasa terganggu, sehingga kurang mandiri secara emosional.
Mendidik anak bukan berarti menjauhkan mereka dari rasa kecewa, sakit hati atau lepas dari kesulitan. Menjadi orang tua bukan sekadar memastikan anak selalu tersenyum, melainkan mendampingi mereka menghadapi setiap perasaan dengan bijak.
Termasuk membentuk fondasi yang kuat dan memberi kasih sayang, rasa aman, ruang untuk gagal, kesempatan untuk bisa bangkit kembali.
Karena pada akhirnya, membuat anak bahagia bukan tujuan akhir yang bisa diberikan orang tua, melainkan buah dari anak yang tangguh, mandiri, dan mampu menemukan jalan bahagianya sendiri. Bahkan ketika dunia tidak berjalan sesuai keinginannya.

Hai, salam kenal 🤗, panggil saya Adis. ‘Terlahir’ jadi ibu, menjadi sadar kalau menjadi orang tua merupakan tugas seumur hidup. Meski banyak tantangan, semua tentu bisa dijalani jika ada dukungan dari lingkungan sekitar. #MamaSquads