Berbicara tentang pendidikan seksual untuk anak, setiap orangtua pasti setuju bahwa ini adalah hal yang penting untuk dilakukan. Ditambah, kasus pelecehan seksual semakin merajalela. Karena itu, Mama dan Papa perlu memahami pentingnya pendidikan seksual dan cara menjelaskannya pada si kecil.
Namun sebelum memahami pendidikan seksual, Mama dan Papa juga perlu tahu apa yang menjadi penyebab pelecehan seksual pada anak.
Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Anak
Pelecehan seksual pada anak bisa disebabkan oleh banyak faktor. Hal ini ditegaskan Psikolog Pendidikan Anak dari Rumah Dandelion, Agstried Elisabeth Piether, M.Psi, Psikolog. Lewat sesi IGlive bersama Parentsquads, ua mengatakan kalau sebenarnya penyebab pelecehan ini tidak bisa dipukul rata satu sama lain.
“Contohnya, seperti kasus di di Pekanbaru, pelakunya ternyata sering menonton (konten pornografi), yang kemudian mencontoh. Ada juga yang misalnya pelakunya karena nggak tahu batasan normal, biasanya terjadi sama anak-anak difabel, mereka ngga tahu batasan normal lalu salah berperilaku. Jadi penyebab mengapa pelecehan seksual itu bisa terjadi sangat beda-beda,” kata Agstried.
Namun, apakah pendidikan seksual saja cukup untuk mencegah terjadinya pelecehan, baik sebagai korban atau pelakunya?
Pendidikan Seksual untuk Anak Bisa Cegah Pelecehan Seksual?
Menurut Agstried, pendidikan seksual seperti konseling, seminar atau penyuluhan saja tidak cukup untuk menghindari anak dari pelecehan seksual, baik sebagai korban ataupun pelaku. Sebab, faktor lingkungan juga sangat memengaruhi kebiasaan dan pola asuh si kecil.
“Sayangnya seks edukasi dalam arti dikasih penyuluhan, seminar, konseling atau apapun itu tidak pernah cukup. Karena misalnya dari lingkungan sekolah sudah koar-koar tentang seks edukasi, nggak boleh menyentuh teman tanpa izin dll, tapi dia tinggal di rumah yang satu petak di mana semua orang tidur bersama dan ganti baju di situ juga. Jadi dia lihat kakaknya ganti baju di depannya, berbeda jenis kelamin. Ayah dan ibunya berhubungan seksual di kamar yang sama tempat dia tidur, sehingga mau seks edukasi seperti apa lingkungannya juga memengaruhi”.
Meskipun begitu, pendidikan seksual untuk anak tentu saja tetap penting untuk dilakukan dan yang jelas bisa menjadi salah satu upaya untuk mencegahnya.
“Sayangnya juga sejauhnya kita memberikan seks edukasi atau kita ajarin anak kita sebisa mungkin untuk menjauhi, mencegah menjadi korban, tetap tidak menihilkan kemungkinan anak kita menjadi korban. thats for sure. Tapi yang jelas seks edukasi mampu meminimalisir kemungkinan itu terjadi dan menjadi landasan dan pondasi buat anak. Konsep berpikirnya adalah bisa menjadi salah satu upaya mencegah pelecehan seksual terjadi,” sambungnya.
Cara Memulai Mengajarkan Pendidikan Seksual untuk Anak
Banyak orangtua yang masih menganggap pendidikan seks atau edukasi seks adalah hal yang tabu, sehingga mereka tidak tahu atau bingung harus mulai mengajarkan dari mana. Ditambah belum ada pengalaman seperti apa cara yang tepat untuk mulai membahas seks. Namun, mau tidak mau, Mama dan Papa perlu memulainya sedini mungkin bahkan sejak dalam pikiran.
Dijelaskan oleh Angstread, adil sejak dalam pikiran bisa menjadi cara pertama untuk mulai membiasakan pendidikan seks pada anak. Bagaimana maksudnya? Mulailah untuk menjelaskan hal itu sejelas mungkin. Misalnya, saat menyebutkan penis sebagai penis, dan vagina sebagai vagina. Dengan begitu, Mama dan Papa mulai membiasakan si kecil mengenali dan menghargai tubuhnya dan tubuh orang lain.
“Bisa mulai dari adil sejak di pikiran, jadi misalnya kita berpikir pendidikan seks biasanya kalau zaman sekarang yang menjadi follower akun-akun parenting biasanya udah nggak anggap pendidikan seks sesuatu yang tabu, udah lumayan paham.
“Tapi gimana caranya menghilangkan tingkat kesulitannya mulai ngomongin seks dari mana. Karena manusia itu produk budaya, kalau dulu ngga pernah diajak ngomong soal itu dan tiap kali ngomong tentang tubuh kita, cara kita menyentuh tubuh kita, cara orang lain menyentuh tubuh itu dianggap sesuatu yang tabu atau sulit.
Kita nggak bisa lepas dari budaya, yang waktu kecil kita ngga ngalamin ini, nggak punya contoh diajak ngomong tentang edukasi seks, tentu saja akan susah ketika kita jadi orang tua. Tapi kalau kita adil sejak di pikiran, ini jadi tidak sulit. Kalau kita sebut hidung sebagai hidung ya kita sebut penis sebagai penis. adil kan. kalau kita sebut tangan sebagai tangan, ya, kita sebut vagina sebagai vagina. Itu adil sejak dalam pikiran kita sendiri,” jelas Agstried lagi.
Bila orang tua sudah bisa membiasakan adil sejak dalam pikiran, membahas pendidikan seksual untuk anak akan lebih mudah dilakukan. Setelah itu, mulai dari kebiasaan kecil, di mana mereka bisa menghormati tubuhnya sendiri, dan orang lain. Misalnya dengan membiasakan diri melepas atau memakai pakaian di kamar atau kamar mandi. Biasakan si kecil bisa menjaga privasinya sejak kecil, hingga saat dewasa dia paham bagaimana memperlakukan tubuhnya sendiri.
Termasuk tidak memarahi si kecil ketika dia tidak mau bersalaman atau memeluk orang lain. Misalnya saat si kecil bertemu dengan kerabat atau orang jauh yang ingin mencium atau memeluknya.
“Lalu kalau kita bilang ke anak yang sudah ABG atau remaja ‘ih malu ganti baju di kamar’, ya kalau kita adil sejak dalam pikiran, kita juga bawa anak bayi kita untuk pakai baju di kamar, private. Kalau kita nggak suka dipegang orang asing, kalau anak kita marah dipegang saudara atau kerabat jauh yang tiba-tiba pegang dia, ya kita jangan marah ke anak karena kita juga nggak suka digituin,” tegasnya lagi.
Mama dan Papa juga bisa mengajarkan si kecil tentang bagian-bagian tubuhnya yang boleh disentuh dan terlihat, dan mana yang tidak boleh disentuh dan tidak boleh terlihat. Biasakan untuk meminta izin pada si kecil bila ingin menyentuh atau memeriksa tubuhnya. Bila si kecil tidak berkenan, jangan memaksa dan hargai pendapatnya.
Lebih lanjut, Agstried juga mengingatkan bahwa MamPap perlu memahami tahapan pendidikan seksual untuk anak. Di mana pada usia 0-3 tahun, pendidikan seks ini akan fokus pada tubuh anak sendiri. Dimulai dari fase oral, pada saat anak mendapatkan kesenangan dari mulutnya. Termasuk anak mulai belajar mengenali anggota tubuhnya sendiri.
Sedangkan anak usia yang masuk usia 3-6 tahun, tidak hanya fokus dengan tubuhnya sendiri. Tapi mulai melebar ingin tahun tubuh teman seperti apa, termasuk mulai ingin tahu tubuh Mama dan Papa seperti apa.
Tahapan pendidikan seksual tentu saja akan semakin berkembang saat anak sudah masuk Uusia 6-8 tahun. Jelang remaja mulai kita ajarkan kalau anak-anak bisa tertarik dengan lawan jenis, bagaimana berteman dengan cara yang sehat.
Sedangkan usia 9 tahun ke atas udah mulai tentu akan lebih kompleks lagi di mana MamPap bisa mengajarkan reproduksi. “Ini bukan mengajarkan melalukan hubungan seksual, ya. Justru agar anak-anak tahu risiko perilaku hubungan seksual. Jangan hanya sekadar bilang jangan ke anak. Anak remaja pelru tahu batasan relasi dengan lawan jenis dengan cara yang sehat.
Cara Nyaman Memberikan Pendidikan Seksual pada Anak
Lebih lanjut, Agstried menginggatkan bahwa pada dasarnya parenting merupakan big issue. Hal ini tehtu saja terkait dengan memberikan pendidikan seks pada anak. “Pendidikan seksual ini juga big issue sehingga memang tentu tidak bisa sekali jalan. Memang tidak mungkin hanya sekali dua kali membicarakannya ke anak.”
Oleh karena itu, Co-founder Rumah Dandelion ini mengingatkan pentingnya membangum hubungan antara orang tua dan anak. “Memang kita perlu pupuk relasinya sejak awal. Anak nggak akan mau denger ceramah kita bagaimana perilaku seksual yang baik, Ya kita saja nggak suka dengar ceramah orang yang nggak dekat dan nggak kita percaya dengan kita kan?,” ujarnya.
Untuk itulah, bonding dan komunikasi terbuka yang bisa berjalan secara dua arah perlu dilakukan sejak dini. Orang tua juga diharapkan bisa lebih aware dengan perubahan perilaku pada anak-anaknya.
Untuk melihat tanda-tanda bahwa seorang anak mungkin menjadi korban pelecehan seksual, yang paling mudah terlihat adalah adanya perubahan perilaku pada anak. Ini yang paling jelas, ya. Dari yang cheerful jadi murung, awalnya senang atau semangat ke sekolah tapi memilih menolak, tidak mau ke sekolah lagi,
Tapi, jauh sebelum menunjukkan gejala baiknya orang tua lebih aware ini terutama jika terjadinya di usia TK. Kita sebagai orang tua perlu mengusahakan atau tahu bagaimana apa hari yang mereka rasakan, bukan sekadar beratnya di sekolah bagaimana? Tapi coba ajukan pertanyaan yang lebih spesifik lagi.
Pertanyaan yang bisa diajukan pada anak bisa seperti:
- Hari ini merasa senang nggak di sekolah?
- Hari ini siapa yang nggak masuk sekolah?
- Jadi tadi bermain sama siapa saja di sekolah?
- Kamu senang nggak mau sama dia?
- Hari ini ada hal yang tidak kamu senangi atau bikin nggak nyaman nggak?
- Ada hal baru yang kamu pelajari nggak di sekolah?
Menurut Agstried, dengan mengajukan pertanyaan yang spesifik seperti ini justru lebih memudahkan anak untuk bercerita. “Nggak cuma itu saja, anak juga jadi lebih bisa lebih terbuka untuk bercerita apa yang dia rasakan. Dengan begitu, harapannya kita sebagai orang tua bisa lebih cepat tahu apa yang terjadi pada anak. Biar bagaimana proses pendidikan seksual pada pada anak perlu dibangun sejak dini.
Bagaimana, MamPap, mudah-mudahan lewat informasi bisa membantu proses mengajarkan pendidikan seksual untuk anak lebih baik ya.