Anak Melakukan Tindakan Kriminal, 3 Hal Ini Bisa Jadi Faktor Risikonya

anak melakukan tindakan kriminal

Orang tua mana yang tidak was-was membaca berita tentang anak melakukan tindakan kriminal. Seperti, kasus tiga anak berusia 8 tahun melakukan kekerasan seksual terhadap anak balita. Kok bisa, ya? Belum lagi beberapa waktu lalu juga ada berita tentang seorang remaja membakar temannya hingga meninggal karena korban diduga mencuri uang teman-temannya. 

Mengapa anak bisa tega melakukan hal-hal buruk seperti itu? Apa yang bisa orang tua upayakan untuk mencegahnya?

Agar orang tua bisa mewaspadai perilaku anak yang menjurus ke tindakan kejahatan, ParentSquads mengundang Agstried Elisabeth Pieter, Psikolog Pendidikan Anak dan Co-Founder @rumah.dandelion, untuk mengupas apa penyebab dan ciri-ciri anak melakukan tindakan kriminal?

Penyebab Anak Melakukan Tindakan Kriminal, Apakah Faktor Genetik?

Menurut Agstried, kalau ditanya apa penyebab anak melakukan tindakan kriminal, tidak ada jawaban yang mutlak. “Faktor apa saja yang bisa membuat anak bisa terjerumus ke dalam situasi buruk seperti itu, kita tidak bisa semerta-merta menyalahkan orang tuanya atau anaknya. Penyebabnya jauh lebih dalam dari itu. Itu sebabnya, saat membaca berita tentang anak menjadi pelaku kejahatan, kita nggak bisa langsung menghakimi hanya dari headline. Tapi, yang bisa dilakukan, kita sama-sama berusaha memahami, apa yang dialami dan dirasakan anak, hingga ia bisa bisa berbuat seperti itu,” ujar Agstried. 

Bacaan Lainnya

Dalam ilmu pendidikan anak usia dini, ada istilah yang namanya faktor risiko. Jadi, ketika seorang anak tumbuh, semakin banyak faktor risikonya maka semakin besar kemungkinan dia terjerumus ke dalam kriminalitas atau masalah perilaku. Kapan pemicunya bisa muncul kita tidak pernah tahu. Tapi, semakin banyak faktor risikonya maka semakin besar anak bisa terjerumus ke hal-hal negatif. 

Apa saja faktor risikonya? Bila kita membayangkan lingkaran, faktor risikonya itu dalam bentuk cincin yang berlapis. Begini pemaparan Agstried:

  • Cincin yang paling dalam adalah faktor internal. Misalnya secara genetik, bisa jadi anak lahir dari orang tua yang punya isu emosi. Atau kemungkinan lain, saat anak masih dalam kandungan, kondisi pemenuhan gizinya tidak terlalu baik. Akibatnya, ketika lahir dan tumbuh, ia memiliki tingkat kecerdasan yang kurang sehingga keberhasilan secara akademik di sekolah juga semakin kurang. Akhirnya, keputusannya bisa putus sekolah dan terjerumus ke dalam tindakan kriminal. 
  • Setelah itu, lapisan keluarga. Keluarga anak tersebut seperti apa. Kemungkinan ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak hangat. Anak diabaikan dan tidak ada orang dewasa yang benar-benar mengasuhnya. Anak tumbuh sendiri tanpa ada aturan yang jelas dari orang tuanya. Selain itu, bisa jadi juga ia tumbuh di lingkungan yang kebetulan orang tuanya pelaku kriminal sebelumnya. Belum lagi bisa jadi orang tuanya ketika mengasuh anak, mengalami gangguan mental yang tidak terdeteksi sehingga memengaruhi pola asuhnya yang akibatnya memengaruhi perilaku anak.
  • Lingkungan komunitas juga bisa menjadi faktor risiko yang besar. Bila tumbuh di komunitas yang menormalisasi kekerasan untuk bisa menjadi bagian dari kelompok tersebut, anak bisa melakukan kekerasan terhadap orang lain untuk mendapatkan keinginannya. 

“Jadi, memang lapisannya banyak. Kalau ditanya penyebab anak melakukan tindakan kriminal itu apa, kurang lebih bisa jadi salah satu faktor risiko di atas, bisa jadi semuanya, atau bisa jadi hal lain di luar ini,” kata Agstried.

Mengenali Ciri-ciri Anak yang Bisa Terjerumus ke dalam Tindakan Kriminal 

Benarkah anak yang tumbuh tanpa ayah memiliki kaitan dengan anak yang melakukan tindakan kriminal? Agstried mengungkapkan, berdasarkan riset, salah satu faktor risiko anak melakukan tindakan kriminal adalah anak yang berasal dari keluarga broken home. Tapi, risikonya tidak lebih besar dari anak yang datang dari dysfunctional family. 

Dysfunctional family di sini adalah keluarga yang tidak berfungsi sebagai keluarga. Bisa jadi, peran ayah atau ibu tidak ada. Atau, kedua orang tuanya terlalu sibuk sehingga menjadi tidak hadir saat mengasuh anak. Atau malah, tidak ada orang dewasa lain yang dipercaya untuk bisa menanam nilai yang baik sehingga anak ini ‘diasuh’ oleh gadget. Risikonya juga sama besarnya pada anak yang dibesarkan oleh orang tua depresif, atau anak yang tidak punya orang dewasa tempat ia bergantung seumur hidupnya. Jadi, semua ini risikonya sama besarnya.”

Lantas bisakah orang tua mengenali ciri-ciri anak yang dapat terjerumus ke dalam tindakan kriminal?

  • Anak cenderung sulit mengikuti peraturan. Misalnya, tidak mentaati aturan sekolah dengan sering bolos. 
  • Mulai tidak peduli apa kata orang dewasa, dan melawan. Misalnya, anak bisa bilang sekolah itu tidak penting.
  • Melakukan tindakan agresi, baik verbal, fisik atau cyberbully. 
  • Punya barang-barang yang seharusnya tidak mereka memiliki. Atau, punya uang lebih banyak dari biasanya, dan orang tua tidak uangnya dari mana.
  • Memiliki luka luka di badan yang orang tua tidak tahu penyebabnya.

Bila anak memiliki kebiasaan di atas, orang tua harus langsung waspada. Sayangnya tidak sedikit orang tua yang tidak menyadari perubahan-perubahan yang terjadi pada anak. 

“Untuk menyadari hal-hal di atas, kita sebagai orang tua memang harus benar-benar memantau hidupnya. Kita harus kenal anak sehingga kita bisa tahu dan menyadari ciri-cirinya. Biasanya pelaku kriminal anak terlanjur melakukan tindakan melanggar hukum karena orang tua tidak menyadari perubahan-perubahan kecil yang terjadi di depan.” ujar Agstried menambahkan.

Mencegah Anak Berperilaku Buruk, Bagaimana Caranya?

Bila anak terlanjur melakukan tindakan kriminal, orang tua harus bagaimana? “Yang pertama dilakukan adalah menjalani proses hukum yang berlaku. Sehingga anak paham bahwa setiap perilaku ada konsekuensinya. Dengan begitu, anak bisa mengetahui kesalahannya,” tegas Agstried. 

Definisi tindakan kriminal di sini adalah tindakan yang tidak sesuai dengan hukum negara. Seperti, Mencuri, kekerasan seksual, bullying pada level intensitas tertentu, dll. Intinya bila sampai menyakiti, melukai dan merugikan orang lain, itu sudah termasuk perilaku yang bisa dipidanakan. 

Agar anak tidak terjerumus, tentunya orang tua ingin mencegahnya sejak dini. Bagaimana caranya? Agstried menjelaskan, sebagai orang tua kita tidak bisa mencegah anak terpapar dengan hal-hal atau perilaku yang tidak kita setujui. Semakin besar paparannya akan semakin banyak nilai dan norma baik atau filter yang harus kita tanamkan pada anak. Dengan begitu anak bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah atau tidak cocok dengan nilai keluarganya.

Dalam penataan norma dan penanaman filter ini ketika dilakukan di usia dini orang tua harus mendampingi secara intensif. Sebagai contoh, saat berusia 3 tahun, anak baru mengenal ada anak yang seusia mereka. Saat melihat temannya memukul, anak biasanya akan bercerita pada orang tuanya. Nah, di sini kita bisa menanamkan nilai bahwa tidak boleh sembarangan memukul orang lain. Dan, bila anak dipukul, orang tua bisa mengajarkan anak untuk segera mencari orang dewasa agar anak tidak makin terluka.

Kemudian saat anak usia SD, mungkin anak akan melihat temannya menyontek untuk mendapat nilai bagus. Bila anak sudah ditanamkan nilai tidak boleh menyontek dan harus jujur, ia akan merasa hal tersebut tidak sesuai dengan nilai keluarganya, sehingga ia tidak akan melakukan perilaku buruk tersebut. 

Nah, bila anak dapat filter dari orang tua terus menerus, ketika beranjak dewasa, mereka tidak perlu lagi didampingi secara insentif, karena filter-filter tersebut sudah tertanam pada diri anak. Hasilnya, anak akan lebih kuat melawan pengaruh buruk karena filter dari orang tua juga kuat.

“Jadi, tidak ada shortcut-nya atau jalan pintas, MamPap. Orang tua dan anak perlu benar-benar punya relasi dan komunikasi yang baik. Orang tua bisa diajak diskusi, dan anak bisa berpendapat. Dengarkan cerita anak, dan tidak langsung menyalahkan anak,” ujar Agstried menegaskan.

 

Bagaimana kita bisa mengurangi angka kasus anak melakukan tindakan kriminal? Agstried menyarankan, bagi yang memiliki anak yang bisa tumbuh di keluarga aman dan nyaman sehingga bisa membesarkan anak dengan menanamkan nilai-nilai keluarga yang baik, kita bisa mengurangi risiko anak-anak dari dysfunctional family dengan mendengarkan mereka saat ada kesempatan bertemu, dan mencari bantuan yang tepat. 

Selain itu, ketika kita membaca berita berita kriminal yang dilakukan anak, hindari langsung menyalahkan orang tuanya. Karena kita tidak pernah tahu cerita sebenarnya, kita tidak pernah tahu penderitaan apa yang mereka alami. Kita bisa mulai berpikir, apa sih faktor risikonya, dan jadikan ini sebagai pembelajaran untuk keluarga kita.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ninety eight − ninety seven =