Hati-hati! Anak Korban KDRT Berisiko Jadi Pelaku atau Korban KDRT

anak korban KDRT

Anak merupakan mesin foto kopi dari kedua orang tuanya. Apa yang mereka lihat dan dengar umumnya akan terserap dengan baik di dalam memorinya. Tidak terkecuali anak korban KDRT.

Maka tidak mengherankan jika para pakar selalu mengingatkan dampak mengkhawatirkan dari anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang dipenuhi dengan kekerasan. Di kemudian hari, mereka akan berisiko mengalami berbagai kesulitan.

Perlu digarisbawahi bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memiliki banyak bentuk. Mulai dari pertengkaran dan teriakan, perilaku yang mengendalikan, tindakan intimidasi, pengancamanm hingga kekerasan yang bisa berakibat cedera serius.

anak korban KDRT

Bacaan Lainnya

Mengutip laman psychologytoday, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit telah melaporkan bahwa di rumah-rumah tempat kekerasan antara pasangan terjadi, ada kemungkinan 45% hingga 60% terjadinya kekerasan anak yang terjadi bersamaan. Angka tersebut 15 kali lebih tinggi dari rata-rata. Angka-angka ini merupakan pengingat yang serius tentang dampak lingkungan yang penuh kekerasan terhadap anak-anak.

Fakta ini tentu saja mengkhawatirkan, sebab jika lingkaran KDRT tidak terputus maka akan berisiko terus berputar terus menerus. Seorang anak yang melihat KDRT akan merasakan ketakutan yang menimbukan trauma sekaligus bisa menyalahartikan bahwa tindakan kekerasan merupakan hal yang lumrah atau normal dilakukan.

Dampak Psikologis yang Dirasakan Anak Korban KDRT

Pengalaman seorang anak yang menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam
lingkup keluarga dapat menimbulkan banyak pengaruh negatif pada keamanan dan stabilitas hidup serta kesejahteraan anak.

Ada beberapa dampak psikologis bagi anak yang menjadi korban kekerasan rumah tangga. Apa saja?

  • Berisiko terjadinya kemundurnya fase perekembangan
  • Merasakan ketakutan akan bahaya atau ditinggalkan,
  • Merasakan kekhawatiran atau kesedihan yang berlebihan
  • Timbulnya rasa bersalah
  • Ketidakmampuan untuk merasakan empati atau rasa bersalah
  • Kebiasaan berbohong,
  • Toleransi frustrasi yang rendah
  • Menjaga jarak emosional
  • Ketakutan tentang masa depan

Perhatian yang diberikan, emosi yang dirasakan, dan kenangan yang terpatri di otak anak pada saat-saat stres menjadi saling terkait erat dan selamanya akan diingat. Nyatanya, anak-anak bukan sekadar pengamat yang tidak bersalah, namun  mereka adalah korban.

Anak Korban KDRT Rentan Menjadi Pelaku dan Korban

Hal lain yang mengkhawatirkan dan tidak bisa diabaikan adalah, anak-anak yang tumbuh dan diberasarkan di tengah keluarga yang dipenuhi dengan kekerasan juga berisiko lebih besar masuk dalam siklus abusive yang sama. Baik sebagai pelaku maupun korban.

Dalam hal ini, Agstried Piether, Psikolog Pendidikan Anak dari Rumah Dandelion ini mengatakan bahwa berbagai jurnal menyatakan bahwa relasi romantis yang dimiliki oleh anak-anak saat dewasa memang modelling relasi romantis orang tuanya.

“Bahkan bisa dibilang plek plek ketiplek. Sehingga anak yang tumbuh di lingkungan yang toksik berisiko akan menjadi korban maupun pelaku KDRT di kemudian hari.”

Mengapa anak korban KDRT rentan jadi pelaku ataupun korban?

Agstried  menjelaskan pada dasarnya anak akan belajar dari yang mereka lihat. Artinya, ketika anak tumbuh dewasa, mereka akan mengadopsi cara sama yang dilakukan ortunya.

“Anak-anak itu selain belajar secara langsung, misalnya pada saat berbuat salah langsung dikoreksi oleh ortu, mereka juga akan belajar secara sosial. Nah, pelaku KDRT biasanya ada isu di 2 hal ini, yaitu perilaku ketika melakukan kekerasan atau ketidakmampuan dalam meregulasi emosi. Pada saat kecil tidak dikoreksi oleh orang tuanya.”

“Ditambah lagi anak-anak melihat pola relasi romantis antara orang tuanya juga ada relasi kuasa yang tidak sehat. Dan anak-anak ini kan hanya punya satu model pasangan yang dilihat, ya, selama hidupnya, yaitu orang tuanya sendiri. Jadi mereka akan berpikir, dan mengira bahwa contoh yang selama ini dilihatnya adalah contoh paling benar relasi yang seperti itu.”

Sementara, psikiater dan peneliti perintis Daniel Siegel (2004) juga menjelaskan bahwa pikiran berkembang saat otak merespons pengalaman yang berkelanjutan. Pola aktivasi neuron inilah yang memunculkan perhatian, emosi, dan ingatan. Dan apa yang terpicu bersamaan—dalam kombinasi antara paparan kekerasan dan pengalaman neurobiologis mendasar anak—terjalin menjadi satu.

Anak Membutuhkan Relasi yang Sehat dari Orang Tua

Sulitnya korban KDRT untuk melepaskan diri memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Keputusan untuk tetap bersama salah satunya dengan alasan demi kebahagiaan anak. Ya, bertahan untuk tetap bersama dinilai menjadi pilihan terbaik bagi anak-anak mereka, padahal keputusan tersebut juga berisiko buruk bagi  tumbuh kembang anak. Termasuk relasi romantis anak ketika sudah bertumbuh dewasa.

Anak Korban KDRT

Seperti yang dijelasakan Agstried Piether, anak akan melihat hubungan orang tuanya sebagai proyeksi dalam membangun hubungan dengan orang lain pada masa mendatang. Melalui interaksi orang tuanya, anak akan menilai bagaimana cara laki-laki dan perempuan berinteraksi.

“Idealnya jika relasinya toksik, ya, memang tinggalkan. Akan tetapi, kita harus empati juga bahwa tidak mudah bagi korban kekerasan untuk memutuskankan siklus kekerasan yang dialaminya. Ketika keberdayaaan dirinya sudah dirusak, orang akan sulit mengambil risiko meninggalkan pola hidup yang sudah dia kenal. Tapi bukan berarti tidak bisa, ya. Biar bagaimana pun anak memang butuh dibesarkan di lingkungan yang sehat.”

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− three = one