Film Pangku: Kisah Perjuangan Ibu Tunggal, di Tengah Kehidupan yang Tak Ramah

Film Pangku

Sebagai seorang ibu, menonton Film Pangku terasa seperti menatap cermin retak, ada bagian diri yang pecah, tapi tetap memantulkan keteguhan, dan cinta yang tak bisa padam. Film karya debut Reza Rahadian ini bukan sekadar cerita tentang perempuan yang hidup dan bekerja di Pantura. Tetapi tentang perjuangan seorang ibu tunggal yang menjalani kerasnya kehidupan. Seorang diri, tanpa privilese apa pun. Ia bertahan hanya untuk satu alasan, cintanya pada sang buah hati.

Sartika (Claresta Taufan) adalah perempuan muda yang mengandung tanpa melewatu pernikahan. Namun ia memilih bertahan.  Tak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk janin di dalam kandungan meski tak punya tempat untuk pulang, hingga akhirnya langkah kaki membawanya di area Pantura.

Sartika memang tidak punya pilihan, kecuali bertahan hidup dengan bekerja di warung kopi pangku. Tempat perempuan melayani pelanggan sopir truk di jalur Pantura. Bukan hanya dengan membuat kopi dan menjualnya tapi juga dengan memberikan ‘layanan’ untuk dipangku. 

Sebagai seorang ibu, melihat bagaimana Sartika bertahan hidup terasa begitu menyesakkan. Sartika bekerja dan menjalani hidup karena keharusan dan bentuk tanggung jawab atas janin yang tengah  tumbuh di rahimnya. Ia tak punya ruang untuk rapuh. Meski demikian, dalam setiap sorot matanya ada tekad dan kekuatan yang dimiliki seorang perempuan. 

Read More

Ketika putranya, Bayu (Shakeel Fauzi) lahir, hidup Sartika tak serta merta menjadi lebih baik. Ia tetap harus bekerja, bahkan Lebih keras dari sebelumnya. Ia menahan lelah dengan banyaknya peluh demi memastikan anaknya bisa tumbuh dengan sebaik-baiknya. 

Film Pangku mengedepankan kisah dan beratnya perjuangan ibu tunggal yang harus bertahan dan membesarkan buah hatinya dengan cara yang begitu keras. Sartika menjalaninya tanpa banyak derai air mata dan keluhan meskipun ia memikul beban yang begitu berat. Hanya usaha panjang yang diisi dengan keputusan-keputusan kecil yang diambil setiap hari agar ia dan dapat bertahan hidup.

Christine Hakim berperan Maya, sosok ibu pengganti yang memberi kehangatan pada Sartika. Dalam interaksi dua perempuan ini, kita melihat bagaimana sesama ibu saling menopang di dunia yang sering kali terlalu keras. Dunia yang memperlakukan perempuan sebagai objek, tapi jarang memberi ruang untuk memahami perjuangan di balik pilihan mereka.

Menariknya lagi, Film Pangku juga mampu ‘memotret’ bahwa support system kadang bisa datang dari arah yang tak terduga. Bukan dari keluarga, bukan dari sahabat lama, tapi justru orang-orang asing yang justru memberikan rasa aman dan kasih sayang tulus. 

Di tengah hidup yang ‘kering’ Sartika pun akhirnya menemukan sosok Hadi (Fedi Nuril) yang mengisi ruang hatinya. Kehadiran Hadi seperti hawa segar yang memberi secercah harapan bagi Sartika dan Bayu. Ada harapan dan mimpi baru yang muncul, membuatnya merasakan bahagia dan merasa ‘utuh’ sebagai perempuan. 

Sebagai ibu, kita tentu cukup paham dan memiliki rasa takut akan masa depan anak. Cemas ketika uang tak cukup bahkan hanya untuk makan sehar-hari,  ketika anak tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak, atau saat harus menelan harga diri demi keberlangsungan hidup keluarga dan kekhawatiran lain yang habis disebutkan satu persatu.

Ada banyak simbol dan pesan yang membuat Film Pangku begitu ‘mengena’ dan terasa sangat jujur. Salah satunya adalah kenyataan bahwa Sartika bukan sosok ibu kuat seperti yang sering digambarkan dalam film komersial, Sartika tetaplah seorang perempuan yang dipenuhi rasa takut, rapuh, bahkan rasa putus asa sehingga ingin menyerah, namun akhirnya ia tetap memilih bertahan, berdiri dengan tegak untuk terus melangkah. Sartika memang tak punya waktu untuk meratapi nasibnya. Dan di sanalah letak kekuatannya. 

Sebagai penonton yang juga seorang ibu, saya menangkap pesan paling jujur dari film ini, bahwa menjadi ibu bukan soal kesempurnaan, tapi soal bertahan dan membersamai buah hati di tengah banyaknya ketidakpastian.

Sartika mungkin tidak punya privilese apa pun, tidak pendidikan tinggi, tidak dukungan keluarga, tidak akses pada kesempatan, namun ia memiliki cinta pada anaknya. Hal yang membuatnya terus  kuat dan bertahan, bahkan di kondisi tersulit dan paling gelap sekalipun.

Bagi Reza Rahadian, Film Pangku sangat spesial, mengingat ia dibesarkan oleh ibu tunggal. Reza berhasil menampilkan dunia Pantura dengan sangat manusiawi yang apa adanya. Tanpa perlu memoles kisahnya dengan penuh dramatisasi. Raza mampu menangkap sebuah realita. Menikmati Film Pangku, kita diajak untuk tidak hanya menilai, tapi juga memahami semua karakter yang ada di dalamnya. 

Film Pangku ibarat surat cinta untuk para ibu yang hidupnya tidak mudah. Untuk para ibu yang selalu bangun setiap pagi dengan kepala penuh kekhawatiran tapi tetap tersenyum di depan anaknya. Untuk para ibu yang tidak memiliki siapa-siapa, hanya anak yang menjadi alasan untuk berjuang.

Film Pangku berhasil menawarkan sebuah kisah yang membekas di hati. Sebuah pengingat bahwa cinta seorang ibu untuk anaknya tidak akan pernah habis. Seberapapun kerasnya kehidupan, seorang ibu akan terus berjuang mampu ‘melawan’ dunia untuk memastikan buah hatinya terus bertumbuh.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventy two ÷ = 9