Masih Cinta Tapi Jarang Bercinta, Apa Mungkin karena Faktor Usia?

Hubungan pernikahannya masih terasa harmonis, saling sayang, dan komunikasi juga oke. Tapi ada satu hal yang bikin bertanya-tanya, “Kenapa ya sekarang frekuensi hubungan intim makin jarang? Apa sebabnya, dan bagaimana cara mengatasinya?” 

MamPap, kita tentu semua sepakat, kalau seks dalam rumah tangga bisa diibaratkan seperti lentera. Kalau tidak dijaga dengan baik, nyala apinya lambat laun bisa meredup. Bahkan akhirnya bisa mati. Biasanya sih, hal ini kerap dilanda pasangan suami istri yang memasuki usia pernikahan lawas, termasuk mereka yang telah memasuki usia lanjut. Tapi, apa iya frekuensi hubungan intim itu hanya dipengaruhi usia?

Sudah dapat dipastikan pasangan yang baru masuk haneymoon phase alias pengantin baru, hubungan seksual akan menggebu-gebu. Frekuensi hubungan intim setiap hari? Ya, gass saja. 

Hal ini berbanding terbalik dengan pasangan suami istri lawas yang sudah belasan atau puluhan tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak sedikit yang menganggap hubungan seks tidak lagi jadi menu utama. 

Bacaan Lainnya

Sebagai psikolog klinis yang banyak menangani pernikahan, Nadya Pramesrani, Co-founder and Clinical Psychologist Rumah Dandelion mengungkapkan, pertanyaan terkait frekuensi hubungan intim memang bisa ditemui.

Terkait dengan bertambahnya usia, baik dari sisi individu dan usia pernikahan, ia menegaskan sebenarnya sampai usia lanjut pun, sexual drive masih tetap ada. Namun, dengan bertambahnya usia, seringkali diiringi juga dengan bertambahnya tanggung jawab, baik  dalam aspek pekerjaan dan rumah tangga, beriringan dengan berkurang juga daya kebugaran tubuh serta ketersediaan energi.

frekuensi hubungan intim

“Sehingga untuk ‘survival’ bisa tetap menjalani semua tanggung jawab itu, ada kecenderungan tidak mementingkan hubungan seksual karena energy depletion atau kelelahan, baik itu kelelahan fisik maupun mental.”

Ia menambahkan, “Sebagai mahluk sosial, memang wajar ya jika ada yang mempertanyakan hal ini dan ingin tahu frekuensi hubungan intim yang dianggap ideal itu seperti apa. Tetapi kehidupan seksual itu kan sebenarnya tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya karena setiap pasangan tentu memiliki preferensi masing-masing. Dianggap normal buat pasangan A, ya, belum tentu normal buat pasangan C.”

Usia Bisa Pengaruhi Frekuensi Hubungan Intim

Lebih lanjut, Nadya memaparkan bahwa frekuensi hubungan intim suami istri memang bisa dipengaruhi oleh faktor usia, baik usia individunya dan usia pernikahan. “Dari penelitian memang ada perubahan rata-rata frekuensi dengan usianya, ya. Di average adult atau usia 30-40/50an atau usia produktif, berhubungan seks dengan frekuensi 54x/tahun.Sedangkan  untuk usia 20an average-nya di 80x/tahun. Dan usia di atas 60 tahun,  average frekuensi berhubungan sex adalah 20x/tahun.  Ini memang rata-rata saja, ya. Artinya bisa di atas, bisa di bawah. Semua ini tergantung kondisi masing-masing pasangan”.

Semakin bertambahnya usia, penurunan frekuensi hubungan intim memang dapat terjadi. Sebuah penelitian yang dilakukan Kinsey juga membuktikannya. Menurutnya hampir semua perempuan melakukan hubungan seksual meskipun frekuensinya menurun setelah 2 tahun menikah. Di mana perempuan yang memasuki usia 50 tahun sekitar 93% masih melakukan hubungan seksual, sedangkan pada pria yang berusia sama sekitar 97%. Pada pria usia 60 tahun 94% masih bisa melakukan hubungan seksual dan pada perempuan usia sama hanya 84%.

frekuensi hubungan intim

Adapun wanita yang menikah pada usia 20 tahun menghendaki hubungan seksual 2 sampai 3 kali seminggu pada tahun pertama, namun seiring bertambahnya usianya frekuensi hubungan seksual yang diinginkan wanita kian surut. Dalam penelitiannya, Kinsey mengatakan, sex drive pria paling kuat pada usia 20-30 tahun dan perempuan terjadi pada usia 30-40 tahun.

Sementara seorang seks educator, Dr Ruth Westheimer, dalam studinya tahun 2004 American Sexual Behaviour, oleh National Opinion Research Center di University of Chicago mendapatkan hasil bahwa pada golongan umur 18-29 tahun meningkat menjadi 109 kali setahun.

Perubahan Fase di Setiap Usia

frekuensi hubungan intim

Faktor usia memang memainkan peran dalam perubahan pola hubungan seksual, tapi bukan satu-satunya faktor. “Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kuantitas dan kualitas hubungan seksual seseorang cukup beragam, mulai dari usia, hormon, anak dan parenting, stress level, kondisi medis, dan masalah dalam hubungan romantis,” tambah Nadya. 

1. Masa Muda: Energi Tinggi, Hasrat Tinggi

Di usia 20-an hingga awal 30-an, tubuh masih berada dalam masa prima. Produksi hormon seks seperti testosteron dan estrogen berada di level puncak, yang secara alami meningkatkan dorongan seksual. Pasangan muda umumnya memiliki frekuensi bercinta yang lebih tinggi, apalagi jika mereka belum memiliki anak dan masih dalam fase bulan madu.

Namun, ini bukan jaminan semua pasangan muda aktif secara seksual. Gaya hidup, stres kerja, atau bahkan kebiasaan bermain gadget juga bisa menjadi penghambat.

2. Usia 30-an hingga 40-an: Fase Menyeimbangkan Kehidupan

Memasuki usia 30-an dan 40-an, banyak pasangan mulai disibukkan dengan urusan keluarga dan karier. Kehadiran anak, tanggung jawab finansial, hingga kelelahan fisik sering memengaruhi waktu dan energi untuk bercinta.

Namun, kualitas bisa jadi meningkat meskipun kuantitas menurun. Banyak pasangan di usia ini justru lebih nyaman dan terbuka secara emosional, yang bisa membuat pengalaman seksual lebih bermakna dan memuaskan.

3. Usia 50-an ke Atas: Terjadinya Perubahan Fisik dan Pendekatan Baru

Memasuki usia 50-an, perubahan hormon—seperti menopause pada perempuan dan penurunan testosteron pada pria—bisa memengaruhi gairah seksual. Beberapa orang mungkin mengalami penurunan frekuensi, namun ini bukan akhir dari kehidupan seksual.

Faktanya, banyak pasangan usia lanjut yang tetap aktif secara seksual. Kuncinya adalah komunikasi, adaptasi, dan memahami bahwa keintiman tidak selalu harus melibatkan hubungan seksual yang intens, melainkan juga kedekatan emosional dan fisik dalam bentuk lain.

Faktor yang Memengaruhi Kehidupan dan Frekuensi Hubungan intim 

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi seberapa sering pasangan berhubungan seks meliputi:

1. Faktor Usia

Kadar hormon seks mencapai puncaknya di masa muda tetapi menurun secara signifikan sekitar usia 50 tahun, saat penurunan frekuensi seksual menjadi paling nyata.

2. Gairah Seksual

Libido yang tidak seimbang adalah salah satu alasan paling umum pasangan mencari terapi. Memiliki pasangan yang libidonya tidak sesuai dengan dapat mengurangi frekuensi seks, keintiman, dan kualitas hubungan secara keseluruhan.

3. Kesehatan Mental

Pada saat seseorang merasakan stres, kecemasan, hingga depresi, tentu saja dapat menurunkan gairah seksual, ini berlaku untuk pria maupun perempuan. Saat seseorang merasa cemas atau tertekan, tubuhnya memproduksi lebih banyak hormon stres (seperti kortisol), yang bisa mengganggu hormon-hormon yang berperan dalam hasrat seksual. Sebaliknya, saat mental tenang dan bahagia, tubuh cenderung lebih siap secara fisik dan emosional untuk berhubungan intim.

4. Anak-anak

Anak-anak di sini dimaksud, pasangan yang memiliki anak terlebih lagi yang sudah memasuku usia sekolah cenderung mengurangu frekuansi hunungan intim dibandingkan dengan pasangan dengan anak-anak dari kelompok usia yang berbeda dan pasangan yang belum memiliki anak.

5. Rasa Percaya Diri 

Faktor penting lainnya adalah rasa percaya diri. Pada saat seorang individu merasa percaya diri maka dirinya akan merasa merasa layak dicintai dan diinginkan oleh pasangannya. Dengan demikian, ia pun layak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari pasangan. Sehingga ini dapat dirasakan, maka ia lebih terbuka secara emosional dan fisik, lebih aktif dalam berhubungan intim, dan lebih menikmati prosesnya. Sebaliknya, kalau seseorang merasa dirinya kurang menarik, kurang pantas, atau takut dibandingkan, maka akan timbul rasa canggung, menarik diri hingga menolak hubungan intim

6. Kondisi Kesehatan 

Adanya kondisi atau penyakit kronis, termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) nyatanya berkaitan dengan  dengan penurunan libido dan disfungsi seksual. 

Pentingnya Menjaga Kehidupan Seks dalam Pernikahan

Ada banyak alasan mengapa kehidupan seks dalam pernikahan perlu dijaga. Seperti yang disampaikan Nadya “Ingatlah, pada dasarnya seks dapat memperkuat ikatan emosional dan mengurangi stres, sekaligus menjadi bentuk komunikasi yang memberikan kepuasan, dan keintiman emosional. Seks itu juga bisa jadi kegiatan yg menyenangkan dan pleasurable, sehingga lagi-lagi bisa meningkatkan bonding.”

Sebagai Psikolog Klinis Dewasa yang sering menangani masalah pernikahan, Nadya juga tidak menampik jika kehidupan seksual merupakan salah satu faktor penentu kebahagiaan perkawinan. Dengan demikian, kehidupan seks atau frekuensi hubungan intim memang perlu diperhatikan.

Dikatakannya, hubungan intim yang dilakukan pasangan suami dapat menjadi salah satu bahasa non verbal. Sebab, kewat sentuhan, pelukan, dan hubungan intim, pasangan bisa mengekspresikan rasa cinta, perhatian, dan dukungan tanpa kata-kata.

Ia mengingatkan bahwa dalam pernikahan memang perlu menjaga kehidupan seksual hingga dapat berlangsung dengan harmonis. “Kehidupan seksual yang harmonis ialah kehidupan seksual yang dapat dinikmati bersama pasutri. Ini berarti suatu kehidupan seksual yang sehat dan memuaskan bagi pasangan suami istri.”

Hubungan yang tidak seksual dapat bertahan jika kedua pasangan merasa dicintai dan didukung serta puas dengan kualitas keintiman. Kemampuan pasangan untuk berkomunikasi dan terhubung dengan cara yang intim tetapi tidak harus seksual merupakan faktor kunci yang berdampak kebahagiaan pernikahan. 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

÷ one = 5